Lihat ke Halaman Asli

Antara Optimisme, Kesehatan Finansial, dan Mulut Nyinyir

Diperbarui: 23 Juli 2017   16:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi. The Telegraph

Sambil bersantai di saat libur, saya mengobrol dengan seorang teman melalui Whatsapp. Ia mengeluhkan kondisi kantornya yang sedang 'goyang'. Saya pun spontan merespon, "Kamu sudah lamar pekerjaan ke tempat lain atau cari sampingan lain buat jaga-jaga?" Jawabannya meresahkan, "Nggak. Biarkan saja. Aku nggak mau setengah-setengah. Harus seperti prinsip orang di negara Cina; fokus dan maju terus. Sukses atau gagal sekalian."

Prinsip yang menurutnya dari Cina itu baru pertama kali saya dengar. Tanpa mengurangi rasa hormat pada dirinya beserta prinsip tersebut, saya pikir prinsip itu cocok baginya bila ia ingin menjadi karyawan yang loyal dan mengabdi pada perusahaan. Namun berdasar ceritanya, saya juga tidak menjamin apabila perusahaannya nanti ambruk, sang pemberi gaji mau memikirkan nasib seluruh karyawan di kemudian hari. 

Prinsip tadi, menurut saya, diciptakan supaya karyawan manut saja. Dan saya melihat keyakinan teguhnya untuk bertahan saat kehancuran sudah menyambut di depan mata sebagai sikap keras kepala yang sulit (namun bisa) untuk diubah.

Bila gajinya menjadi satu-satunya sumber penghasilan, saya pikir dia harus yakin bahwa fundamental perusahaannya begitu baik sehingga saat ia pensiun, kesejahteraannya tidak terancam. Mungkin kalau dia PNS, tak akan jadi masalah. Nah, dalam kasus teman saya, tempatnya bekerja adalah perusahaan swasta dimana sang pemilik sedang dipolisikan pula.

Hari gini, konsep loyalitas pada perusahaan tempat bekerja sudah sangat berbeda dengan konsep yang berlaku beberapa dekade silam. Salah satu contoh orang yang sukses adalah yang berani memutuskan keluar atau resignkarena mau maju. Itu kata James Gwee. Alasan resign-nya juga pastinya untuk sesuatu yang lebih baik.

Terkait penghasilan, mengatur sumber pemasukan itu juga seperti mengatur portfolio investasi. Prinsipnya sama; simpan telur-telur Anda di beberapa keranjang yang berbeda. Kalau ada satu keranjang yang jatuh sehingga telur-telur di dalamnya pecah, Anda tidak mendapat masalah karena masih banyak telur di keranjang-keranjang lainnya. 

Keuangan pun sehat karena direncanakan dan diatur. Bukannya yakin dan super optimis tanpa dasar yang jelas. Apalagi dalam kehidupan yang penuh ketidakpastian ini. Prinsip menyimpan telur dalam beberapa keranjang berbeda ini berlaku bagi siapa saja, baik bagi wiraswasta maupun karyawan.

Foto: Pixabay

Oleh karena itu, bila ada orang yang pekerjaannya banyak atau bahasa 'keren'nya serabutan, itu tak selalu bermakna negatif. Terlebih jika pelakunya diberi label maruk. Wah, sang pemberi komentar pastilah benar-benar sinis dan negative thinker kelas kakap. 

Selama serabutan-nya halal dan tidak merugikan, di mana letak kesalahannya? Bukankan mencari nafkah itu hak setiap manusia apapun kewarganegaraan dan agamanya? Apabila ada kesalahan terkait orang yang memiliki banyak side-job, tentu masalahnya ada di pikiran sang pemilik mulut nyinyir.

Pada akhirnya, ini kembali ke mental atau cara berpikir. Pola pikir yang populer adalah yang mendukung konsumerisme dan upaya memiskinkan diri yang ditujukan untuk kelas pekerja atau kelas menengah supaya tetap berada di kelas tersebut.

Lalu mengapa mindsetsukses khususnya yang dimiliki kebanyakan orang kaya tidak populer? Mungkin memang sebaiknya tidak populer, agar para pengusaha tetap dapat menjalankan bisnisnya sesuai rencana dengan adem ayem.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline