Pengantar :
Dalam rangka menghormati dan mengenang para pejuang rakyat Cilegon dalam melawan Penjajah Belanda, dimotori oleh para Kyai (Ulama) yang terjadi di Cilegon pada tanggal 9 Juli 1888, saya sajikan tulisan bersambung yang disarikan dari buku karya Prof. Sartono Kartodirdjo "Pemberontakan Petani Banten 1888".
Pemberontakan Cilegon 1888 yang terkenal dengan Geger Cilegon 1888 atau Pemberontakan Ki wasid, telah melahirkan pejuang pejuang anti Penjajah yang revolusioner. Pemberontakan yang terjadi pada paruh kedua abad XIX itu, di pimpin dan dimotori para Kyai --ulama-- Banten terkemuka pada zamannya yakni H.Wasid --Ki Wasid--, H.Tubagus Ismail, H. Marjuki dan lainnya.
Semangat memberontak terhadap penjajah, di pompa oleh Syeikh H. Abdul Karim yang saat itu menggantikan Syeikh Hatib Sambas sebagai Mursyid (pimpinan) Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah se dunia. Syeikh H. Abdul Karim bermukim di Makkah satu periode dengan Ki Nawawi Al-Bantani.
Syeikh H. Abdul Karim hanya sesekali pulang ke Banten, saat pulang inilah beliau menyampaikan dakwahnya dan memberikan semangat anti penjajah, beliau selalu mengatakan memerangi orang kafir adalah termasuk Jihad fi Sabillah.
Terahir ia datang ke Banten tahun 1872 sebelum ahirnya kembali lagi ke Mekkah pada tahun 1876 dengan meninggalkan pesan tidak akan kembali lagi selama Banten masih di kuasai orang asing.
Jadi bisa dikatakan bahwa Syekh H.Abdul Karim adalah tokoh pemantik perang sabil melawan penjajah. Syekh H.Abdul Karim juga dianggap sebagai Wali Allah dengan sebutan Kyai Agung, punya kharisma luar biasa dikalangan ummat Islam hususnya bagi pengikut Tarekat Qodiriyah.
Syeikh H. Abdul Karim. Foto ; Wikipedia.org
Karena pengaruhnya inilah kemudian para muridnya seperti H.Tubagus Ismail. Ki Wasid dan H.Marjuki, menggagas suatu gerakan pemberontakan untuk mengusir orang asing yang dianggap kafir dan telah berbuat dzalim serta menyengsarakan rakyat.Gagasan untuk memberontak -- berjuang mengusir penjajah Belanda -- ini kemudian didukung oleh murid murid Syekh H. Abdul Karim lainnya seperti H.Sangadeli Kaloran, H.Asnawi Bendung Lempuyang, H.Abubakar Pontang dan tentu saja murid murid dari para kyai tersebut.
Gerakan pemberontakan yang melibatkan elite agama dalam struktur masyarakat Banten ini, menjadi perhatian Sartono Kartodirdjo. Beliau mengadakan penelitian husus peristiwa tersebut guna kepentingan studinya dalam meraih gelar doctor di Universitas Amsterdam Belanda.
Hasil Penelitian yang dijadikan disertasi dengan judul "The Peasants' Revolt of Banten in 1888", kemudian di terbitkan menjadi sebuah buku dengan judul "Pemberontkan Petani Banten 1888".