Tulisan ini merupakan sambungan tulisan pertama saya dalam menanggapi beberapa tulisan Kompasianer Mang Pram -selanjutnya Pram-- yang telah membuat opini buruk terhadap Calon Walikota Cilegon pada Pilkada 2020 hususnya Ratu Ati Marliati (RAM). Dimata Pram, RAM tidak ada sisi baiknya, semua dikesankan teramat buruk.
Dalam tulisan pertama, diahir tulisan, saya mengatakan bahwa intinya ibarat sebuah pohon, tulisan Pram miring parah kearah kubu competitor RAM hususnya Ali Mujahidin- Firman Mutaqin, dan saya menduga bahwa Pram adalah seorang buzzer yang tidak berani menampilkan identitas sebenarnya.
Lihat di sini
Sekarang lanjut, dugaan saya bahwa Pram adalah Buzzer, bukan tanpa dasar, saya melihat semua tulisannya jauh dari objektifitas hiruk pikuk yang terjadi dalam tahapan Pilkada Cilegon tahun 2020 ini. Semua tulisan Pram saya nilai sebagai framing yang meng-opinikan seolah RAM adalah Calon Walikota yang tidak baik.
Jika anda objektif dan bukan buzzer,, mengapa anda tidak menulis ada kandidat calon Independen yakni Ali Mujahidin yang menukar minyak goreng dengan KTP untuk syarat dukungan bakal calon dan memberikan voucher belanja waralaba Indo mart untuk kepentingan verifikasi factual pendukungan bakal calon dan terus berlangsung hingga menjelang penetapan Calon. Coba anda kaji itu dengan ilmu sosiologi politik, perilaku seperti ini termasuk perilaku apa?
Jika anda bojektif dan bukan buzzer, mengapa anda tidak menulis berita viral ketika seorang Anggota DPR-RI dari partai Pengusung bakal Calon yakni saudara YD mempolitisasi sosialisasi dan penyerahan bantuan operasional Pesantren dari Kementrian Agama RI (APBN) untuk kepentingan Pilkada dan salah satu kandidat pasangan bakal calon yang penyerahannya dilaksanakan di rumah bakal calon.
Bahkan kandidat itu yakni Iye Rohiman diberikan kesempatan untuk menyerahkan bantuan secara simbolis kepada Pesantren. Bukankah ini bentuk perilaku dan etika politik yang buruk dari seorang tokoh politisi nasional yang seharusnya meberi contoh yang baik bagi kompetisi demokrasi local?.
Jika anda objektif dan bukan buzer, mengapa anda tidak menulis soal netralitas ASN yang ikut hadir dalam Deklarasi salah satu Pasangan Calon dan sudah di proses di BAWASLU Cilegon, bukankah ini juga pelanggaran dalam proses Pilkada?.
Sulit rasanya bagi saya untuk tidak mengatakan bahwa anda kemungkinan adalah seorang buzzer yang ada dilingkungan salah satu kandidat atau dilingkungan kelompok itu.
Ketika tiga pasangan bakal calon minus Pasangan Ratu Ati Marliati-Skhidin yakni Pasangan Heldy Agustian- Sanuji P, Ali Mujahidin-Firman Mtaqin dan Iye Rohiman-Awab (sekarang sudah resmi Pasangan Calon Walikota) mentasbihkan diri sebagai kelompok perubahan dan selalu intens bertemu untuk menghadang RAM, dengan tegas saya menyatakan bahwa tiga paslon ini bisa disebut kelompok anti kemapanan, sebab menurut Ilmu kaweruhan, Kelompok anti kemapanan ini biasanya muncul dengan berbagai varian, ada yang menyebut dirinya sebagai poros pembaharuan, poros perubahan, poros tengah atau sebagainya.
Adapun sifat kelompok ini cenderung menentang dan menyerang kelompok yang sedang berkuasa dengan membabi buta, nyinyir dan cenderung membuat fitnah, tujuannya tak lain ingin menghancurkan dan memporak porandakan kemapanan dari yang sedang berkuasa.