Banyak jalan menuju Roma, demikian pepatah sering dikatakan orang. Pepatah itu menggambarkan tentang banyak cara untuk mencapai satu tujuan.
Untuk saat ini, pepatah itu saya ganti menjadi "Banyak jalan menuju Istana". Mengapa harus Istana?, ya karena kalau saya ganti menjadi "Banyak jalan menuju Surga atau Neraka", nanti banyak orang yang mengira saya pendukungnya Farhat Abas.
Istana memang punya daya tarik tersendiri bagi orang atau kelompok tertentu. Istana adalah sebagai pusat sekaligus pusaran kekuasaan. Di istana itu ada singgasana, di Istana itu banyak kursi yang empuk, di istana itu banyak jabatan yang menggiurkan, bahkan diluar istanapun banyak kursi atau jabatan yang diburu orang asalkan bersinggungan dengan Istana.
Intinya, bagi kelompok ini, mereka berebut jalan menuju Istana tujuannya hanya satu yakni berebut kekuasaan, lepas dari apapun visi dan misinya. Namun demikian, tidak semua orang berebut jalan menuju Istana hanya ingin mendapatkan kekuasaan, ada juga orang atau kelompok menuju Istana justru ingin bertemu dengan si empu kekuasaan untuk mengadu agar nasibnya di perhatikan.
Untuk menuju dan menduduki Singgasana Istana, tidak selamanya mulus, kadang terjadi intrik bahkan bisa saling bermusuhan. Tentu kita masih ingat sejarah jaman dahulu kala. Untuk menduduki Singgasana kadang terjadi persetruan dan permusuhan antara saudara. Persetruan seperti ini pernah terjadi, salah satunya di Kerajaan Mataram abad 17 yakni Persetruan antara Raja Amangkurat I dengan Raja Amangkurat II yang tak lain adalah persetruan antara orang tua dan anak. Ini terjadi karena perebutan kursi Singgasana di Istana lepas apapun latar belakangnya.
Demikian pula halnya dengan posisi kusri dan jabatan lain di lingkungan Istana. Siapapun orangnya yang punya nafsu untuk duduk di kursi empuk dengan jabatan tertentu di lingkungan Istana, orang bisa berbuat apa saja, kalau perlu fitnah dan kebohongan di tebar kemana mana hanya untuk mendapat citra. Dalam cerita pewayangan, pernah seorang pembohong dan tukang fitnah bisa menduduki kursi empuk di Kepatihan.
Tokoh itu tak lain adalah Tri Gantalpati, tokoh ini pandai memainkan peran, kadang ia pakai nama Harya Suman, kadang ia pakai nama Sang Maha Julig. Tri Gantalpati ini banyak akal, oleh karena itulah wataknya jadi licik. Adapun tabiatnya ia suka iri dan haus kekuasaan. Untuk memuluskan keinginnya, Tri Gantalpati tak segan melakukan sesuatu dengan menghalalkan segala cara.
Sebelum menjadi Patih, Tri Gantalpati hanya rakyat biasa, hanya saja karena watak dan tabiatnya seperti diatas, Tri Gantalpati berhasil menghasut dan menyebar kebencian kepada para kurawa bahwa Patih Gandamana yang sedang berkuasa adalah Patih yang tidak bener.
Kurawa berhasil di hasut, maka Patih Gandamana-pun ramai ramai di bantai para kurawa, jasadnya dimasukkan ke dalam sumur. Segera setelah itu, Tri Gantalpati yang licik dan banyak akal, membuat laporan palsu kepada Prabu Pandhu tentang kejadian yang menimpa Patih Gandamana. Prabu Pandhu berhasil di kadalin, dengan laporan palsu itu, ahirnya Tri Gantalpati dipercaya menduduki jabatan bergengsi yakni menjadi Patih, sejak saat itu Tri Gantalpati berubah menjadi Patih Sengkuni.
Lantas bagaimana dengan perebutan Singgasana di Istana pada jaman modern atau zaman Demokrasi sekarang ini?, tunggu episode selanjutnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H