Tiba tiba saja, nama besar Asmat bergeser. karya seni suku Asmat yang kesohor berupa ukiran kayu yang sudah mendunia, tenggelam oleh penyakit bernama campak dan gizi buruk. Penyakit itulah yang mendadak menjadi pemberitaan nomor wahid di nusantara dan bikin sibuk para petinggi negeri lantaran menyusup ke suku Asmat dan menelan banyak korban Jiwa.
Asmat tambah menggaung setelah ketua BEM UI Zaadit Taqwa nyemprit dan mengangkat kartu kuning yang ditujukan kepada Presiden Jokowi pada saat menyampaikan pidato Dies Natalis UI beberapa waktu lalu.
Kartu kuning, yang lazim digunakan pada laga sepakbola, adalah sebuah simbol peringatan terhadap pemain yang bermain bola tidak menuruti aturan yang sudah ada. Dengan kartu kuning itu selanjutnya diharapkan pemain bermain sportif, tidak melakukan pelanggaran berat baik disengaja maupun tidak disengaja, jika masih melakukan pelanggaran, maka kartu kuning kedua akan dilayangkan wasit, lantas dikeluarkan dari lapangan dengan kartu merah.
Sungguhpun demikian, tak jarang seorang yang terkena kartu kuning merasa tidak puas hingga kemudian marah marah kepada wasit. Ambil contoh misalnya pemain professional seperti Sulley Muntari sangat murka ketika dijatuhi kartu kuning oleh wasit hingga ahirnya "bebanting" keluar lapangan.
Yang lebih parah, biasanya terjadi pada pertandingan sepakbola kelas tarkam, wasit akan menjadi sasaran kemarahan bukan hanya dari pemain yang terkena kartu kuning, tetapi semua bolo yang ada di lapangan akan mengerubuti wasit bahkan tak jarang supporterpun ramai ramai menghajar wasit.
Demikian halnya dengan kartu kuning Zaadit Taqwa, menurut pengakuan Zaadit Taqwa, kartu kuning itu dimaksudkan untuk memperingatkan Presiden Jokowi untuk bisa melaksanakan tugas-tugasnya yang belum selesai. Zaadit juga menyatakan bahwa munculnya Kartu Kuning itu sebetulnya merupakan kritik terhadap pemerintah terutama soal penanganan Asmat, Adanya wacana Polri menjabat Gubernur dan Soal Kehidupan Organisasi Mahasiswa.
Atas tindakan Zaadit itu, tentu saja menimbulkan berbagai tanggapan tersebab sempritan dan kartu kuning itu tidak terjadi di lapangan sepakbola, tetapi dihadapan dan bahkan ditujukan kepada Presiden yang kemudian ditonton oleh berjuta juta mata rakyat melalui media social maupun media mainstream yang ada.
Orang kemudian bebas mengartikan ''simbol" kartu kuning Zaadit, bagi yang berada di lingkaran Jokowi, baik itu politisi, birokrat maupun warganet, ramai ramai menghujat Zaadit, tapi sebaliknya bagi yang berada diluar lingkaran kekuasaan, justru memuji keberanian Zaadit dalam mengekspresikan kritiknya melalui kartu kuning.
Dalam konteks tulisan ini, saya tidak ingin terjebak soal bagaimana sebetulnya yang sudah dilakukan oleh Jokowi sebagai kepala negara maupun sebagai kepala pemerintahan dalam membangun bangsa ini, tetapi apa yang sudah dilakukan oleh Zaadit Taqwa diatas, telah menunjukkan bahwa ada suatu persoalan bangsa yang harus dibenahi, adapun soal Kartu Kuning adalah sebuah pemaknaan yang bisa diterjemahkan menurut sudut pandang masing masing.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H