Pagi hari setelah melelapkan diri dari kecapaian pasca perjalanan selama 18 Jam Cilegon-Yogya, saya langsung bercengkrama dengan cucu, Farahdea Shakila yang baru berumur 19 bulan. Ciuman kangen ''kiss'' dari cucu dan Panggilan ‘’kakek’’ menandakan bahwa perjalanan waktu dan roda kehidupan telah menyadarkan bahwa sesungguhnya saya sudah mulai menguning laksana padi yang siap dipanen, ha ha ha..
Tapi disinilah saya bisa menikmati hidup, menikmati Lebaran bertemu dengan anak cucu. Tentu bagi yang belum bercucu, tidak akan bisa menikmati seperti apa yang saya nikmati ini, dan saya sangat bersyukur tiada tara kepada sang Khalik karena sebagai orang tua, saya sudah bisa menunaikan kewajiban yakni mengentaskan anak meskipun mungkin belum bisa membahagiakan sesuai dengan yang diinginkan anak,
Paling tidak, kewajiban dasarnya sudah saya penuhi, yakni mendidik anak hingga tuntas dan kini sudah bekerja sebagai ASN, menikahkannya dan anak anak sudah memberikan permata hati berupa cucu yang mungil. itulah maqom saya, Bagi teman teman yang belum bercucu, pastinya punya maqom sendiri, yakni menikmati hidup dan lebaran dengan anak anak tercinta termasuk silaturrahmi dengan orang tua tentunya.
Rampung bercengkrama, jadwal pertama adalah silaturrahim ke keluarga besan, mertua dari anak saya di Perumahan Nogotirto, 5 km dari Kauman, tempat anak saya tinggal. Jalanan seputar jogja masih lengang, hingga dalam waktu beberapa menit sudah sampai tujuan. Setelah itu, saya melanjutkan silaturrahim ke orang tua dari istri saya alias mertua di Prambanan kurang lebih 20 km dari Jogja arah Solo. Lalu lintas sepanjang jalan menuju Prambanan yakni jalan Yogya Solo, siang itu tergolong normal, namun 1 km sebelum memasuki Prambanan, kendaraan mulai tersendat, sababiyahnya disini merupakan area tempat wisata peninggalan Bandung Bondowoso yakni Candi Prambanan yang sudah Melegenda.
Selepas maqhrib, dan silaturrahmi sudah selesai, saya harus kembali ke Yogya. Situasi lalu lintas sepanjang jalan Prambanan-Yogya , mulai mengular dan tersendat. Masih untung saya pernah tinggal di Yogya hingga hafal jalan tikus. Sesampainya di Kalasan, saya belok kiri, tidak ambil jalur utama Prambanan Yogya, tapi melalui Berbah hingga tembus ke Gedong Kuning, Kota Gede lantas masuk Kota Yogya, lumayan menghemat waktu dari mengularnya kendaraan. Memasuki kota, Yogya penuh sesak kendaraan, untuk mencapai rumah di jl. KH.Ahmad Dahlan, tepatnya di Kauman, dari Gedong Kuning yang biasa normal hanya 5 menit, harus memakan waktu kurang lebih 1 Jam.
Yogya saat lebaran memang selalu ramai, banyak orang yang mudik di kota pelajar ini, terbukti, empat hari saya di yogya, di jalanan seputar kota, dipenuhi oleh kendaraan luar kota yogya seperti plat B, F, D, A , L dan lainnya. Jalan Malioboro tetap menjadi daya tarik para wisatawan atau pemudik hingga lautan manusia tumplek blek di pusat belanja dan destinasi ini. Di jalan inilah para pemudik menghabiskan belanja, utamanya di Pasar Beringharjo atau pusat pusat belanja batik yang tersebar di sepanjang Malioboro.
Saya salut dengan pihak kepolisian yang telah merekayasa lalu lintas di pusat kota, jalan yang menghubungkan malioboro dari arah jalan Mangkubumi atau dari arah Pasar kembang yang seharusnya belok kanan dibawah jembatan rel kereta dekat hotel garuda, ditutup dan harus memutar hingga stadion Kridosono balik arah melalui depan Gereja Kota Baru. Intinya semua kendaraan yang akan masuk Malioboro dari arah manapun harus melalui Kridosono. Maksudnya adalah untuk mengurai kendaraan dan memperlambat waktu antrian masuk ke Malioboro. Sedangkan untuk kendaraan yang tujuannya sekedar melintas Malioboro, disarankan melalui beberapa spanduk atau panflet untuk menghindari Malioboro karena macet.
Dari pada kena macet yang berjam-jam, saya lebih memilih naik andong atau dokar yang banyak berseliweran sebagai kendaraan wisata di pusat kota, cukup dengan ongkos lima puluh rebu perak, saya sekeluarga sudah bisa diantarkan untuk sekedar jalan jalan ke Malioboro. Tidak memakan waktu lama karena untuk beca dan andong punya jalur husus.
Situasi Malioboro sekarang sudah beda, sebab disepanjang jalan ini, sudah tidak diperkenankan parkir kendaraan baik roda dua maupun roda empat. Kini kendaraan bermotor diharuskan parkir ditempat yang disediakan yakni di jalan Abu Bakar Ali, letaknya di ujung sebelah utara Malioboro, samping Hotel Inna Garuda. Cukup jauh memang jika pengunung tujuannya ingin ke Pasar Bringharjo yang terletak diujung selatan Malioboro. Tapi pengunjung menggunakan bus gratis yang disediakan pemerintah.
Dengan adanya larangan parkir ini, pejalan kaki di Malioboro hususnya disebelah kiri dari arah utara, terasa nyaman, sesekali pejalan kaki bisa melihat tontonan musik jalanan yang sengaja menggelar konser ‘’dipinggir jalan’’, lagu ''sakitnya ku disini'' yang dimainkan dalam bentuk instrumental, menambah semaraknya jalan Malioboo, tak ada salahnya jika masukkan uang recehan di kotak yang sudah disediakan, hitung hitung ikut memeriahkan dan menikmati keramaian kota Gudeg saat lebaran sekaligus nabung untuk amal .
Ya itulah Yogyakarta.