Lihat ke Halaman Asli

KANG NASIR

TERVERIFIKASI

petualang

Pelajaran dari Yogyakarta

Diperbarui: 16 April 2016   14:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Pedestrian, atau trotoar pejalan kaki jalan Malioboro Yogya yang sudah bebas parkir sepeda motor, dok.Pribadi "][/caption]Sudah dua hari saya berada di Yogyakarta, kota pelajar dan kota budaya yang sudah kesohor  sampai mancanegara. Yogya juga merupakan salah satu destinasi wisata di Indonesia yang banyak diminati wisatawan lokal maupun mancanegara. Maka tak heran jika di kota ini tak pernah sepi dari orang-orang yang ingin menikmati  ke-khasan Yogya, tak heran juga jika di Yogya banyak berseliweran bule-bule atau londo-londo eropa, amrik atau pelancong pelancong  dari kawasan asia  yang matanya sipit.

Berkunjung ke Yogya, tidak afdol jika tidak singgah di jalan  Malioboro, jalan ini merupakan icon Yogya, jalan ini juga merupakan pusat perputaran ekonomi Yogya mengingat di jalan ini berderetn pusat perbelanjaan. Yang ingin belanja dengan gengsi tinggi, maka pilihannya adalah Mall yang berjejerdi  sepanjang Malioboro.

Tapi bagi yang ingin menikmati suasana belanja yang sebenarnya dengan suasana kerakyatan, maka pilihannya adalah Pasar Beringharjo, pasar yang terkenal sejak jaman penjajahan hingga sekarang. Wisatawan masuk Beringharjo, biasanya husus belanja ‘’Batik’’  karena memang harganya miring dibanding belanja di toko husus batik yang ternama di sepanjang jalan Malioboro.

Suasana jalan Malioboro saat ini sudah beda, sekarang kelihatan rapih dan asri, tidak adalagi kesmrawutan akibat banyaknya motor yang diparkir di sisi jalan. Mulai 4 April 2016 lalu, Pemerintah Kota Yogya menerpakan larangan parkir sepeda motor di tepi jalan Malioboro yang sebenarnya adalah pedestrian. Kini speda motor diharuskan parkir di tempat yang telah disediakan yakni di ujung utara jalan Malioboro tepatnya di Jalan Abu Bakar Ali. Pemerintah menyediakan shatle bus gratis dari tempat parkir menuju jalan Malioboro.

Alhasil, pejalan kaki di Malioboro khususnya disebelah kiri dari arah utara, terasa nyaman, apalagi jika malam hari, banyak yang sengaja datang ke Malioboro hanya ingin menikmati suasana Malioboro. Namun sangat disayangkan, pengawasannya masih kurang, sehingga masih banyak  becak yang justru mangkal disitu dan mengganggu pemandangan dan para pejalan kaki.

Untuk urusan makan, wisatawan yang berkunjung ke Malioboro atau Pasar Beringharjo, tak usah hawatir, banyak pedagang makanan hususnya ‘’Gudeg’’  berjejer disepanjang jalan ini  dengan harga yang terjangkau. Paling senang biasanya wisatawan melahap nasi gudeg yang berjejer di depan Pasar Beringharjo. Makan didepan Beingharjo ini, ternyata bukan hanya sekedar menghilangkan lapar, tapi banyak juga yang sekedar ‘’mengulang’’ masa lalu saat kuliah di jogja –misalnya.

[caption caption="Wisatawan sedang melahap Gudeg depan Pasar Beringharjo Yogyakarta, dok Pribadi"]

[/caption]Saya justru kangen dengan sate si mbok yang sejak dulu jualan di samping pasar Beringharjo, tepatnya di depan pintu samping pasar di sisi jalan Pabringan. Satenya has, ada tiga jenis sate disini, yakni husus daging, khusus hati dan khusus lemak sapi atau biasa disebut ‘’sate kere’’. Sebutan ini mungkin dulunya yang makan adalah orang kelas rendahan, kelas pasar, bukan dari kelas the have. Namun sekarang banyak juga yang makan disitu adalah orang yang berpunya karena makan kenangan, dulu mungkin kere, sekarang the have.

[caption caption="Simbok, penjual ''sate kere'', dok Pribadi"]

[/caption]Saya kebetulan tidak nginap di hotel, sengaja tidur di rumah anak saya yang tidak jauh dari Malioboro, tepatnya di komplek Kauman bersebelahan dengan Masjid Gede Yogyakarta. Dari  Kauman ini banyak yang bisa diambil belajaran tentang kehidupan bermasyarakat. Tidak ada sepeda motor yang ditumpangi masuk jalan atau lebih tepat disebut gang komplek, semuanya wajib mematikan mesin alias motornya harus dituntun, sebuah  perilaku yang sulit ditemui dikampung saya.

Di komplek ini juga masih melekat kebiasaan yang bernuansa kebersamaan dan jiwa sosial yang amat tinggi. Mulanya saya kaget melihat sesuatu yang menempel di dinding rumah anak saya, disitu ditempel sebuah kertas kecil lengkap dengan tanggal, diatasnya di tulis ‘’Kartu Kendali Jimpitan’’ dan dibawahnya ada sebuah kaleng kecil yang ada tulisannya koin RP.500,-.

[caption caption="Kartu Jimpitan, makna kegotongroyangan dan keguyuban warga. dok,pribadi"]

[/caption]Jimpitan adalah sumbangan sukarela warga yang pelaksanaannya tidak perlu di tagih, tetapi cukup di taruh di kaleng kecil yang menempel di tembok, tiap malam petugas ronda, mengambilnya dari rumah rumah warga, sambil mencatatnya di kolom tanggal yang sengaja ada ruang kosong. Meski disitu tertulis coin Rp.500,- , banyak juga warga yang menarohnya lebih dari itu. Adapun hasilnya digunakan untuk kegiatan sosial di lingkungan seperti Pengajian atau kegiatan lainnya yang dilaksanakan lingkungan warga. Sebuah makna kegotongrongan dan keguyuban warga ditengah arus modernisasi yang individual.

Inilah pelajaran yang saya dapat dari Yogya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline