Lihat ke Halaman Asli

Reformasi Birokrasi... Naik Gaji Saja Tidak Cukup

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Terungkapnya drama makelar kasus yang menempatkan Gayus Tambunan sebagai aktor utamanya menambah daftar panjang catatan hitam akan korupsi di nusantara ini. Gayus Tambunan yang hanya pegawai golongan IIIA ditengarahi memiliki kekayaan yang tidak tanggung-tanggung, yakni 25 milyar. Kekayaan sejumlah ini merupakan jumlah yang begitu fantastis untuk seorang Gayus. Tidak ayal, begitu kasus ini mencuat ke publik nama gayus langsung menjadi buah bibir masyarakat luas, terlebih kasus ini terkait dengan pengelolaan dana publik. Selain itu, didenggungkanya reformasi birokrasi oleh depkeu menjadi pemacu special meledaknya kasus ini. Pada satu titik lain, kasus ini bisa menjadi bahan refleksi atas efektivitas pelaksanaan reformasi birokrasi yang dijalankan di departemen keuangan. Terlebih pasca-kelantangan peryataan mentri keuangan terkait dengan pajak satu bulan yang lalu " Isi SPT saudara, kalau ada korupsi di departemen keuangan saya bertanggung jawab".

Munculnya drama makelar kasus ini seakan menjadi tamparan serius bagi proses reformasi birokrasi di lingkungan departemen keuangan. Tidak hanya itu, kasus ini juga mengindikasikan bahwa kenaikan gaji atau pay off bagi pegawai negeri tidaklah cukup manjur untuk mengatasi sindrom korupsi di birokrasi pemerintahan. Lantas bagaimana epidemik korupsi ini dibersihkan? Sebagian kalangan megetengahkan pemberlakuan hukuman mati bagi koruptor. Selain itu, ditekankan pula penerapan zero tolerance priciple pada usaha pemberantasan korupsi. Artinya dalam pemberantasan korupsi tidak mengenal pemberlakuan istimewa terhadap sebagian kalangan yang dianggap telah berjasa bagi negeri ini. Okelah, mungkin faktor-faktor yang disebutkan terlebih dahulu memang memberikan konstribusi bagi pemberantasan korupsi di Indonesia, tapi perlu dipikirkan ulang efektivitas penerapanya.

Penerepan prinsip stick and carrot pada pemberatasan korupsi memang diperlukan. Tanpa adanya penerapan prisip ini, upaya pemberantasan korupsi sama saja omong kosong, tanpa arti apapun. Tapi menurut hemat saya, penerapan prinsip ini tidaklah cukup. Diperlukan motivasi lain yang menggerakan pemberantasan korupsi di Indonesia. Merujuk pada teori motivasi herzberg, kompensasi yang berupa pay off yang dinyatakan dalam kenaikan gaji bukanlah satu bentuk motivasi melainkan hygiene. Artinya kenaikan gaji merupakan salah satu keharusan dalam reformasi birokrasi, tetapi kenaikan gaji tidak memberikan rasa kepuasan dalam bekerja. Oleh sebab itulah, terdorong terjadinya korupsi. Sering kali kita beranggapan bahwa kesalahan korupsi hanya harus dilimpahkan pada pejabat yang melakukan korupsi. Saya tidak mengatakan bahwa anggapan itu benar atau salah. Tapi menurut hemat saya, lebih baiknya ditinjau dulu sistem operasional birokrasi yang ada. Kalau ternyata sistem yang ada mendukung adnya korupsi hal itu harus dibenahi terlebih dahulu. Selain itu, penerapan sistem motivasi merupakan suatu bentuk pencegahan dalam tindak pidana korupsi. Penerapan sistem motivasi bisa memacu kepuasan kerja para aparatur negara yang pada akhirnya akan memberikan dampak positif bagi upaya pemberantasan korupsi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline