"Nusa bangsa dan bahasa, kita bela bersama.." Penggalan lirik lagu Satu Nusa Satu Bangsa yang tanpa sengaja saya dengarkan menggelitik hati saya untuk memahami filosofi dari lagu tersebut. Sebagai orang awam, saya hampir tidak pernah lagi menyanyikan lagu-lagu nasional, mendengarkannya pun jarang. Tetapi ketika seorang anak kecil umur tujuh tahun menyanyikan lagu tersebut dengan polosnya, saya merasa kikuk. Alangkah keterlaluannya saya tidak pernah lagi menyentuh simbol-simbol nasionalisme dari negara yang saya tinggali ini. Kebetulan juga sekira sepuluh hari lagi bangsa ini merayakan hari jadinya yang ke 65, ada baiknya saya merenungi sisi lain diri saya sebagai bangsa Indonesia.
Kalau kita cermati lirik lagu yang diciptakan Dr. Liberty Manik tersebut memang mencerminkan semangat sumpah pemuda yang digelorakan para pemuda bangsa ini di tahun 1928 silam. Bahasa Indonesia mendapat tempat terhormat dalam poin ketiga sumpah tersebut sebagai bahasa kesatuan. Lantas, apakah karena ia berperan sebagai bahasa persatuan maka harus dibela? mengapa? bagaimana cara membelanya? apakah (secara tidak sadar) saya sudah membela bahasa saya sendiri? dan apa konsekuensinya kalau ia tidak dibela? Pertanyaan ini terus-menerus berkecamuk dalam benak saya setelah mendengar lirik terakhir lagu tersebut. Kemudian saya merenung beberapa saat dan mata saya berkaca-kaca. Cukup emosional memang.
Bahasa yang kodrat aslinya digunakan sebagai cara manusia berkomunikasi satu sama lain telah mengalami serangkaian evolusi (mungkin bisa disebut revolusi) yang luar biasa. Perjalanan bahasa Indonesia tak luput dari proses tersebut. Bahkan, melalui sumpah pemuda, bahasa Indonesia menjadi sebuah rantai yang mengikat manusia yang menghuni Pulau Sabang hingga Kota Merauke untuk berhimpun dalam naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun ironisnya, sadar atau tidak, bahasa Indonesia dewasa ini mungkin berada dalam keadaan sekarat. Bisa jadi saya sendiri juga menjadi biang keladi bahasa ini sekarat, yah apalah daya, namanya juga orang awam. Saya mengaku bersalah untuk urusan penggunaan bahasa Indonesia yang masih sembarangan dan terkesan menyepelekan.
Saya pun berpikir, bahasa Indonesia memang perlu dibela karena berkatnya saya bisa hidup di negeri ini. Saya tidak menjadi manusia yang bodoh dan tak tahu apa-apa. Bahasa Indonesia menjadi identitas saya ke mana pun saya pergi. Bahasa Indonesia adalah bahasa yang mudah dipelajari karena tidak mengenal tenses (dalam bahasa Inggris) maupun penanda gender (seperti maskulin dan feminin dalam bahasa Jerman maupun Arab) dalam tata bahasanya. Pengucapan yang sesuai pelafalan hurufnya, dan tidak memiliki aksara khusus adalah kelebihan lain dari bahasa ini. Mungkin hanya penggunaan imbuhan yang menjadi momok bagi warga asing untuk mempelajari bahasa ini.
Lantas, bagaimana saya membela bahasa ini? Haruskah tiap hari saya menenteng KBBI ke mana pun saya pergi? Haruskah saya memakai EYD dalam setiap tulisan yang saya tulis? Haruskah saya berbicara dengan bahasa yang kaku dan efektif? Mungkin beberapa dari hal tersebut benar adanya. Pada intinya, semua kembali pada kondisi yang memungkinkan untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Bagaimana halnya dengan para menteri, bahkan presiden, yang sering kali mencampur adukkan bahasa Indonesia dengan istilah-istilah asing, pantaskah mereka disebut pembela bangsa ini? Makin rumit kan urusannya, haha..
Sebenarnya sederhana saja, kalau kita cermat melihat berbagai tulisan di sekitar kita, entah iklan, spanduk, poster, papan nama, maupun label pada kemasan sampo yang kita pakai, apakah sudah menggunakan bahasa Indonesia yang tepat? Jawabannya bisa iya atau tidak. Pengetahuan masyarakat kita yang masih minim akan bahasa Indonesia yang tepat memang layak dipahami. Saya sendiri sering kebingungan juga untuk membedakan antara 'asas' dan 'azas'. Terkadang saya jengkel juga dengan KBBI yang seolah-olah terkesan otoriter untuk mengesahkan mana kata yang baku atau tidak, dan membuat saya terkecoh ketika antara pelafalan yang umum dan penulisan kata yang baku ternyata berbeda! Alamak, salah siapa ini?
Saya pun teringat ketika membaca sebuah berita Perdana Menteri Belgia mengundurkan diri hanya gara-gara urusan bahasa, sungguh luar biasa bukan? Belgia yang dikenal memiliki beberapa bahasa resmi (terutama Perancis dan Belanda) memang kerap mengalami perselisihan antargolongan yang berbeda bahasa. Beruntung sekali bukan bangsa ini mempunyai bahasa persatuan. Andai para pemuda dulu tidak menyertakan bahasa Indonesia dalam sumpah mereka, alangkah susahnya bangsa Ini untuk bersatu karena komunikasi antarmereka terhambat oleh rintangan bahasa daerah yang berbeda-beda. Ada baiknya kita sempatkan membuka-buka kamus atau menyempatkan menulis untuk memperkaya pengetahuan kita akan bahasa Indonesia tercinta ini. Bukankah dengan mencintai bahasa Indonesia sama halnya dengan membelanya dengan segenap jiwa raga kita, seperti halnya kita membela orang-orang yang kita cintai di sekeliling kita.
Terima kasih sudah menyempatkan membaca tulisan saya ini. Mohon maaf bila ada penulisan ejaan yang salah maupun kurang tepat, namanya juga masih belajar, hehe
Salam Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H