Hari ini, saya di datangi bapak Hadi, Kepala Dusun Puncu, Desa Puncu Kecamatan Puncu. Beliau menanyakan kepada: “mas, bagaimana dengan perbankan, kok masih banyak yang nagih”!. Kebetulan saya ada ketua umum Aliansi Warga Kelud (AWK) sebuah organisasi gerakan rakyat yang melakukan pendampingan dan advokasi korban bencana erupsi gunung kelud. Yang meliputi 2 Kecamatan Kepung dan Kecamatan Puncu.
Kemarin, Lugito Kepala Desa Kebonrejo juga menanyakan: “Mas, kenapa kita tidak bisa hutang lagi, padahal BI sudah mengeluarkan surat yang menyatakan perlakuan khusus bagi korban bencana, dengan mewajibkan pihak perbankan mengeluarkan kredit lunak”!.
Dari beberapa persoalan ini sebetulnya, di situs kompas.com tertanggal 30 april 2014, Otoritas Jasa Keuangan Kantor Kediri menyatakan ada 11.000 debitur dengan nilai kredit mencapai Rp 300 miliar yang turut terdampak letusan Gunung Kelud.Para debitur ini adalah nasabah dari 7 bank umum dan 33 bank perkreditan rakyat, tersebar di 22 kecamatan di lima kabupaten kota di Jawa Timur. Empat kabupaten kota yang masuk cakupan OJK Kediri dan terdampak letusan Gunung Kelud adalah Kabupaten Kediri, Blitar, dan Malang, serta Kota Batu dan Kediri.
Pihak OJK yang diwakili oleh Bambang, meminta nasabah di wilayah terdampak letusan Gunung Kelud yang punya utang ke bank untuk tak segan datang ke bank tempat berutang. Di sana, ujar dia, para debitur ini bisa melakukan negosiasi dan menentukan posisi utang mereka bersama pihak bank. Bagi para debitur OJK menawarkan beberapa alternatif kebijakan yang dapat dipilih. Kebijakan itu mulai dari penangguhan pembayaran, penjadwalan ulang, hingga keringanan bunga kredit. Hal itu dituangkan dalam surat keputusan OJK
Dalam konteks ini, masyarakat yang tergabung dalam Aliansi Warga Kelud (AWK) menuntut untuk di adakan pemutihan. Apakah ini mungkin? jelas sangat mungkin. Bencana erupsi gunung kelud mengakibatkan kerugian material berupa rusaknya bahkan musnahnya harta benda. Bagi petani, rusak dan musnahnya harta benda serta lahan pertanian dapat menyebabkan ketidak mampuannya membayar kreditnya kepada bank.
Padahal dalam bisnis perbankan, pendapatan bank terbesar berasal dari sektor kredit. Namun, tidak selamanya dana yang telah dikucurkan kepada debitur dapat dikembalikan debitur dengan lancar. Ketika terjadi keadaan memaksa (force majeure) atau overmacht seperti bencana alam mengakibatkan debitur tidak mampu lagi mencicil kredit dan bunganya dan itu berarti kerugian bagi bank. Dalam bahasa perbankan disebut sebagai kredit macet atau menjadi kredit bermasalah (non performing loan/NPL).
Kredit macet yang disebabkan force majeure dalam hal ini bencana alam, merupakan unsur ketidak sengajaan yang diartikan debitur mau membayar tetapi tidak mampu. Dalam keadaan memaksa ini terjadi peristiwa yang tidak terduga yang terjadi di luar kesalahan debitur setelah penutupan perjanjian, peristiwa ini menghalangi debitur untuk memenuhi prestasinya sebelum dinyatakan lalai dan karena debitur tidak dapat disalahkan dan tidak menanggung risiko atas peristiwa tersebut.
Ada tiga unsur yang harus dipenuhi untuk dapat dikategorikan keadaan memaksa menurut Mariam Darus Badrulzaman yaitu (1) tidak dipenuhinya prestasi karena terjadi peristiwa membinasakan atau memusnahkan benda objek perikatan; (2) ada sebab yang terletak di luar kesalahan debitur karena terjadi peristiwa yang menghalangi perbuatan debitur untuk berprestasi; (3) faktor penyebab itu tidak dapat diduga sebelumnya dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur.
Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) dalam Putusannya No. 409K/Sip/1983 menyatakan bahwa keadaan memaksa dilihat sebagai keadaan yang diakibatkan malapetaka yang secara patut tidak dapat dicegah oleh para pihak yang berprestasi. Bahkan jauh sebelum putusan tersebut di atas, putusan MARI No. 24K/Sip/1958 menyatakan force majeure telah menutup kemungkinan-kemungkinan atau alternatif lain bagi pihak yang terkena force majeure untuk memenuhi kontrak.
Bencana alam sebagai keadaan memaksa (force majeure) membawa konsekuensi hukum yaitu (1) kreditur tidak dapat menuntut pemenuhan prestasi; (2) debitur tidak dapat lagi dinyatakan lalai; (3) debitur tidak wajib membayar ganti rugi; (4) kreditur tidak dapat menuntut pembatalan dalam perjanjian timbal balik; dan (5) perikatan dianggap gugur. Berkaitan dengan konsekuensi hukum tersebut, debitur harus membuktikan bencana alam sebagai keadaan memaksa dengan memenuhi tiga syarat, yaitu (1) ia harus membuktikan bahwa ia tidak bersalah; (2) ia tidak dapat memenuhi kewajibannya secara lain; (c) ia tidak menanggung risiko baik menurut ketentuan undang-undang maupun ketentuan perjanjian atau karena ajaran itikad baik harus menanggung risiko.
Dalam prakktiknya, posisi debitur tetap lemah meskipun ketidakmampuannya dalam melunasi utangnya disebabkan force majeure berupa bencana alam. Regulasi Perbankan yang ada saat ini tidak tegas mengatur penghapusan utang debitur. Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/15/PBI/2006 Tentang Perlakukan Khusus Terhadap Kredit Bank Bagi Daerah-Daerah tertentu di Indonesia Yang terkena Bencana Alam, tidak dengan tegas mengatur mengenai penghapusan hutang bagi debitur yang terkena dampak bencana alam. Yang ada hanya mengatur restrukturisasi bagi Bank Umum dan bank Perkreditan rakyat.
Demikian juga kalau kita melihat Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/39/PBI/2008 Tentang Peraturan Pelaksanaaan Penanganan Khusus Permasalahan Perbankan Pasca Bencana Nasional di Propinsi Nanggroe Aceh Darusalam dan Kepulauan Nias di Sumatera. Dalam Pasal 12 peraturan tersebut hanya ditegaskan (1) dalam hal yang diagunkan ke bank dinyatakan musnah dan debitur yang bersangkutan tidak dapat menyelesaikan kewajiban pada bank, maka permasalahan kredit debitur diserahkan kepada kebijakan masing-masing bank; (2) kebijakan bank dalam menyelesaikan kredit sebagaimana dimaksud di atas harus memperhatikan keuangan bank.
Dalam bisnis perbankan penghapusan kredit macet dibedakan menjadi 2 (dua) jenis, yaitu penghapus bukuan secara administratif yang tidak menghilangkan hak tagih bank atau disebut juga hapus buku, dan penghapus bukuan yang dianggap sebagai kerugian dan tidak dapat ditagih lagi atau disebut juga hapus tagih.