Lihat ke Halaman Asli

Menyambut Wacana KEK 2018 dan Sail Taka Bonerate 2019

Diperbarui: 10 Maret 2017   04:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah dilakukan pertemuan antara pihak Kementerian dan Bupati Kabupaten Kepulauan Selayar beberapa hari lalu di Jakarta, masyarakat Selayar seolah memenangkan sebuah pertarungan besar dalam menyambut berita baik terkait tanggapan positif pihak pusat dalam mendukung percepatan pembangunan pariwisata di Kabupaten Kepulauan Selayar. Pihak pusat menyambut baik niat Pemerintah daerah Kabupaten Kepulauan Selayar untuk dijadikan sebagai kawasan ekonomi khusus (KEK) 2018 dan menjadi tuan rumah Sail Taka Bonerate berskala Internasional 2019 mendatang.

Dua program ini sangat diharapkan akan memicu pembangunan pariwisata Selayar dan menjadikannya sebagai salah satu tujuan wisata terbaik di Indonesia. Namun ditengah permintaan Pemerintah daerah tersebut, pihak pusat mensyaratkan penyiapan lahan 500 hektar untuk dijadikan lokasi kawasan ekonomi khusus (KEK). Jika lahannya sudah siap, Menteri Pariwisata bahkan menjanjikan KEK akan dimulai tahun 2018. 

Ditengah kabar gembira tersebut, memunculkan beberapa pertanyaan untuk direnungkan, bagaimana cara Pemda melakukan pembebasan lahan? Apakah lahan tersebut kira-kira akan dibeli dari masyarakat? Jika iya,apakah akan sesuai dengan harga standar lahan lokal? atau malah Pemda akan melakukan pengklaiman atas lahan "kosong"? Pertanyaan-pertanyaan tersebut tentunya sangat perlu dijadikan sebagai bahan pertimbangan agar tidak menciderai cita-cita besar Pemda dalam membangun wajah baru pariwisata Selayar.

Selain pembebasan lahan, wacana KEK 2018 dan sail Taka Bonerate 2019 ini juga rupanya mensyaratkan Selayar bebas dari aktifitas penangkapan ikan tidak ramah lingkungan (destructive fishing) yang katanya “masih” marak terjadi dibeberapa pulau Kabupaten Kepulauan Selayar. Menurut kabar, nelayan masih belum bisa move on (beralih) ke alat tangkap yang ramah lingkungan dengan berbagai alasan. Salah satunya adalah alasan produktifitas yang bisa melipat gandakan penghasilan. Mereka seolah sudah berada pada zona nyaman dalam menghasilkan uang, sehingga resiko apapun akan ditanggung jika ternyata kedapatan oleh aparat kemanan. 

Ditengan bencana kerusakan lingkungan ini, Pemda tentunya harus mengambil langkah tegas dalam menindaki aktifitas tersebut karena sangat mengancam keindahan laut dan keberlanjutan biota-biota laut di Selayar. Keseriusan Pemda tersebut sebenarnya sudah ditindaklanjuti oleh pihak penegak hukum beberapa tahun lalu. Banyak nelayan yang ditangkap dan diproses secara hukum, bahkan sampai ada yang di penjara. Bahkan dengan melakukan pelarangan menggunakan komprensor kepada nelayan penyelam karena alasan keselamatan, menyalahi prosedur standar penyelaman dan keseringan dijadikan modus oleh penyelam pembius.

Selain langkah penindakan, langkah lain yang juga harus diambil Pemda adalah berupaya keras untuk mensinergiskan beberapa Instansi yang punya kewenangan (payung hukum yang berbeda) terhadap kawasan taman nasional Taka Bonerate. Meningkatkan koordinasi dan kerjasama diantara lembaga tersebut. Terutama antara pihak balai taman nasional dengan pihak kepolisian, PSDKP dan dinas pariwisata dalam meningkatkan pengawasan dan menjembatani pelaksanaan berbagai program pemberdayaan masyarakat kawasan agar tidak tergiur dan meninggalkan alat tangkap tidak ramah lingkungan dalam aktifitasnya menangkap ikan. Mereka diharapkan meninggalkan alat tangkap yang merusak tersebut karena adanya alternatif alat tangkap baru yang ramah lingkungan atau pekerjaan lain.

Karena sampai saat ini beberapa beberapa nelayan masih menggantungkan  hidup dari alat tangkap tidak ramah lingkungan seperti bahan peledak (bom) dan potassium sianida (bius) dalam kegiatan menangkap ikan. Cara seperti ini masih mereka anggap sebagai hal biasa dan sangat membantu ekonomi rumah tangga, produktif,  dan tidak membutuhkan biaya banyak dibanding harus menangkap ikan dengan alat tangkap ramah lingkungan seperti pancing, bagang,kulambi, jaring dan lain sebagainya.

Bogor, 10 Maret 2017

MA

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline