Beberapa waktu terakhir, publik diperlihatkan akan fenomena aksi kelompok masyarakat melontarkan pesan (condong mengarah kritikan) kepada jajaran elit politik melalui seni mural. Tak tanggung-tanggung, aksi tersebut dilakukan di berbagai penjuru Nusantara secara serempak dan berkelanjutan.
Menurut pandangan penulis, kelompok "Gejayan Memanggil" lah yang menjadi pemrakarsa seruan aksi tersebut, setelah sebelumnya beberapa karya mural masyarakat kedapati dihapus oleh sekelompok yang disinyalir aparat pemerintah.
Adapun titik permasalahan yang bisa penulis tangkap yakni pada perspektif street artist (seniman jalanan), mereka membuat mural tersebut sebagai bentuk wujud penyampaian kritik terhadap jajaran elit politik atau pemerintah yang tidak bisa meminimalisir virus covid-19 secara maksimal, ditambah dengan adanya kebijakan yang berlaku berupa pembatasan kegiatan masyarakat atau dikenal dengan sebutan PPKM. Oleh karena PPKM, yang secara terus menerus diperpanjang, mayoritas kondisi masyarakat menjadi "tercekik".
Di lain pihak, dalam perspektif aparat pemerintah, mereka berargumen bahwa mural tersebut dihapus lantaran substansinya mengandung unsur provokatif, dimana sifatnya dapat menghasut khalayak luas.
Aparat pemerintah tak hanya menghapus mural tersebut, melainkan juga mencari, menangkap, dan membawa ke ranah hukum. Belum lagi aspek status legalitas juga dipersoalkan dalam pembuatan mural di ruang publik tersebut.
Sebagaimana yang kita ketahui, sejauh ini sudah ada 3 mural sepengetahuan penulis yang dihapus oleh pihak berwenang, diantaranya mural "Jokowi 404:Not Found" (Batuceper, Tangerang, Banten), lalu mural "Dipaksa Sehat di Negara Sakit" (Kecamatan Bangil, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur), dan mural "Tuhan Aku Lapar" (Jalan Aria Wangsakara, Tigaraksa, Kabupaten Tangerang, Banten).
Mengenai permasalahan tersebut, bagaimana pandangan dan solusi perspektif penulis? Sebelum mengutarakannya, mari kita kaji dan pahami bersama.
Pada dasarnya, negara Indonesia adalah negara yang berbasis paham demokrasi, tepatnya demokrasi Pancasila. Salah satu ciri negara demokrasi adalah adanya kebebasan berpendapat, menyampaikan aspirasi ke ruang publik, dan dalam melaksanakan hal tersebut tidak dibatasi atau tidak diperlakukan secara refresif.
Itu berarti, masyarakat sah-sah saja dalam menuangkan ekspresi berpendapat. Sebagaimana dalam Pasal 28E ayat 2 UUD 1945 berbunyi "Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya." Dan Pasal 28E ayat 3 UUD 1945 berbunyi "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat."
Secara hukum sudah jelas diatur dalam undang-undang sebagaimana yang telah jelaskan tadi, namun fakta di lapangan justru berbanding berbalik.