Mencetak uang berarti meningkatkan Jumlah Uang Beredar (JUB) di dalam masyarakat. Menurut Mankiw (2003), keeratan hubungan inflasi dengan jumlah uang beredar tidak dapat dilihat dalam jangka pendek. Teori inflasi ini bekerja paling baik dalam jangka panjang, bukan dalam jangka pendek. Dengan demikian, hubungan antara pertumbuhan uang dan inflasi dalam data bulanan tidak akan seerat hubungan keduanya jika dilihat selama periode 10 tahun. Dalam Nopirin (2014), Bahwa Keynes tidak melihat Jumlah uang beredar merupakan faktor eksogen dalam kegiatan suatu perekonomian. Menurut Keynes, uang beredar sebagai faktor yang sangat ditentukan oleh kegiatan ekonomi suatu masyarakat. Jadi menurut Keynes besarnya angaka pelipat uang dipengaruhi oleh kegiatan ekonomi.
Artinya apabila kebijakan mencetak uang dilakukan maka JUB yang berada dalam masyarakat akan tinggi, dan sesuai teori maka tingkat inflasi akan tinggi dikarenakan dalam masa pandemic ini permintaan akan suatu barang akan melemah dikarenakan konsumsi turun akibat resesi, produsen pun akan mengalami penurunan produksi maka menurut Afrizal (2017) akan terjadi Cost Push Inflation, yaitu inflasi yang disebabkan oleh kenaikan biaya produksi.
Hasil penelitian Afrizal (2017) menunjukkan bahwa jumlah uang beredar di Indonesia tidak berpengaruh terhadap tingkat inflasi, namun tingkat inflasi di Indonesia berpengaruh terhadap jumlah uang beredar. Hasil penelitian Perlambang (2012) Konsumsi, suku bunga, kurs, dan jumlah uang beredar berpengaruh signifikan terhadap inflasi di Indonesia.
Dengan arti kata, apabila terjadi peningkatan terhadap konsumsi, kurs (terdepresiasi) dan jumlah uang beredar sedangkan suku bunga turun maka akan berdampak peningkatan inflasi di Indonesia.
Indonesia pernah mengalami Hiperinflasi pada tahun 1963-1965 dikarenakan terdapat beberapa proyek ambisius dari pemerintah yaitu pembangunan GBK, HI, Monas, dan Asian Games membuat Indonesia mencetak uang untuk likuiditas. Namun dampaknya adalah terkena hiperinflasi 600% (Sejarah Bank Indonesia: Moneter :1959 -1966)
Kesimpulannya adalah apabila Indonesia masih mampu mempunyai cadangan likuiditas tidak perlu mencetak uang dikarenakan stimulus moneter masih dapat dilakukan seperti obligasi SBN, dll
Referensi
Mankiw, N. G. (2003). Teori Makroekonomi Edisi Kelima. Terjemahan. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Nopirin. (2014). Ekonomi Moneter Buku I, Edisi 1, Cetakan 14. Yogyakarta: Bpfe
Afrizal. (2017). Analisis Kausalitas Inflasi Dan Jumlah Uang Beredar Di Indonesia Periode Tahun 2000.1--2014.4. Jurnal Ekonomi Bisnis Dan Kewirausahaan 2017, Vol. 6, No. 3, 236-250
Samuelson, P. A., & Nordhaus. W. D. (2009). Economics. Nineteenth Edition. New York: Mcgraw-Hill Irwin.