Lihat ke Halaman Asli

Mochammad Jose Akmal

Sangat tertarik dengan isu Sosial dan Perpolitikan baik nasional maupun Internasional.

Jakarta: Antara Pesona dan Realita yang Tak Seindah Bayangan

Diperbarui: 27 September 2024   10:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jakarta, Ibukota Indonesia/ Wikimedia Commons

Jakarta, oh Jakarta. Pesonamu begitu memikat. Dari Sabang sampai Merauke, Sangihe hingga Rote, banyak orang datang untuk mencoba peruntungan di kota ini. Ibu kota ekonomi Indonesia ini telah lama menjadi magnet bagi mereka yang ingin mengadu nasib.

Pesona Jakarta bukanlah hal baru. Daya tarik utamanya adalah ekonomi. Gaji yang tinggi menjadi alasan utama perantau dari seluruh Indonesia mengincar kota ini. Siapa yang tidak tergoda?

Sejarah panjang Jakarta sebagai ibu kota telah memikat banyak orang. Menurut sejarawan JJ Rizal, tradisi merantau ke Jakarta sudah ada sejak zaman kolonial dan kian meningkat pada abad ke-20. Sentralisasi pembangunan membuat desa-desa tertinggal, dan persepsi bahwa sukses harus diraih di ibu kota semakin kuat.

Data dari tahun 1950 mencatat jumlah penduduk Jakarta sekitar 1,6 juta, yang melonjak menjadi 2,9 juta pada 1960. Pada akhir 1960-an, jumlahnya sudah mencapai lebih dari 4 juta. Survei tahun 1953 bahkan mencatat bahwa 75 persen penduduk di beberapa distrik Jakarta adalah perantau, dan setengah dari mereka datang sejak 1949.

Jakarta: Simbol Kemakmuran atau Harapan yang Pupus?

Mengapa banyak orang memilih merantau ke Jakarta? Setelah Indonesia merdeka pada 1949, Jakarta sebagai pusat pemerintahan Republik Indonesia menjadi simbol kemakmuran yang diharapkan lahir dari kemerdekaan. Kota ini menawarkan harapan bagi mereka yang ingin maju dan merubah nasib. Namun, apakah kenyataannya kini demikian?

Jakarta saat ini mungkin tidak seindah kilau yang sering digambarkan. Masalah perumahan menjadi salah satu sorotan. Banyak warga Jakarta tinggal di tempat yang tidak layak, bahkan ada yang hidup di bawah jembatan atau di pinggir jalan. Harga rumah yang terus naik sementara pendapatan stagnan membuat sulit bagi mereka untuk memiliki tempat tinggal layak.

Laporan "Time to Act" dari Bank Dunia tahun 2019 mencatat rasio harga rumah per pendapatan di Jakarta mencapai 10,3. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan Singapura (4,8), New York (5,7), dan London (8,5). Artinya, hanya sebagian kecil penduduk Jakarta yang mampu membeli rumah.

Ditambah lagi, pendapatan rata-rata pekerja di Jakarta berkisar antara Rp 5 hingga 10 juta per bulan. Dengan pengeluaran cicilan sekitar Rp 3 juta per bulan, hal ini masih jauh dari cukup, bahkan untuk menyewa apartemen di pusat kota. Data Survei Biaya Hidup (SBH) 2022 dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa biaya hidup per rumah tangga di Jakarta mencapai Rp 14,88 juta per bulan. Ini jelas jauh di atas Upah Minimum Regional (UMR) Jakarta 2022 yang hanya Rp 4,64 juta.

Jakarta yang Tenggelam: Ancaman Nyata di Masa Depan

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline