"Masa sudah kelas sembilan masih jomblo juga.” Kata-kata itu masih juga berputar-putar terngiang di telinga Sevi. Sebetulnya sudah satu minggu kata-kata itu diucapkan oleh Sinta, teman satu kelas Sevi yang terkenal usil itu. Bukan hanya usil, tapi sudah usil bin usil. Alias biangnya usil. Sampai saat ini kata-kata itu terus saja bergelayutan di pikiran Sevi. Entah kenapa.
Semua teman satu kelas Sevi memang rata-rata sudah punya pacar, mungkin hanya berdua, Sevi dan Laila yang belum punya pacar. Dua manusia mungil dan imut ini memang tidak pernah memikirkan pacar. Kalau berpikir punya pacar saja tak mereka lakukan, bagaimana mungkin mereka punya pacar betulan.
Mereka berdua lebih senang bergelut dengan buku. Bersaing menjadi yang nomor satu. Kalau ditanya pacar Sevi dan Laila siapa? Ya, pasti teman-teman akan menggeleng-gelengkan kepala. Atau satu kelas akan menjawab: buku!
Kalau mereka berdua belum punya pacar, bukan berarti mereka berdua jelek. Dua-duanya cantik. Dua-duanya imut. Dua-duanya manis. Bahkan ada yang bilang, senyum Sevi lebih manis daripada senyum Syahrini. Lesung pipit Laila lebih mempesona dari bintang Hollywood, siapa pun dia.
Waktu mereka berdua memang habis untuk belajar. Di rumah belajar. Di sekolah belajar. Di jalan pun sempat-sempatnya mereka menikmati buku di tengah kesemrawutan jalanan Jakarta. Sehingga tak terpikirkan, dan benar-benar tak terpikirkan sekali pun di otak mereka berdua untuk mencari pacar.
Sampai muncul berita ini. Berita yang langsung mengagetkan Sevi.
Dua minggu yang lalu, Laila mengakhiri kejombloannya. Kata Soni, Laila sekarang sudah pacaran sama Fatur. Ketua kelas sembilan enam. Manusia ganteng tapi play boy.
Maka sekarang tinggal Sevi sendiri yang masih belum punya pacar. Dan saat Sinta mengatakan kelas sembilan kok masih jomblo, maka hanya Sevi yang kena. Bahkan kena sampai di hatinya.
Kata-kata Sinta inilah yang membuat Sevi sering bengong. Seperti saat dipergoki oleh adiknya si Oca. Bahkan saking bengongnya, kepalanya agak miring sedikit. Rupa-rupanya gaya memiringkan kepala itu merupakan gaya bengong terbaru menurut Sevi. Belum ada duanya di dunia ini.
“Hai...!!!” bentak Oca mengagetkan.
“Kambing, kambing, kambing!” kata Sevi seperti orang latah saking kagetnya.
“Mikirin kambing ya, Kak?” tanya Oca sambil tertawa cekikikan. Bahagia seperti dapat layangan putus. Baru kali ini ada orang kaget menyebut kata kambing. Kalau benar kata orang-orang, berarti yang ada di pikiran kakaknya saat ini adalah kambing. Aneh?
“Ya,” jawab Sevi asal. Sevi sudah tahu, kalau adiknya yang berambut kriting seperti Valentino Rosi ini jago meledek. Semakin serius maka akan semakin menjadi-jadi ledekannya. Lebih baik diiyakan saja apa yang dikatakan adiknya ini. Maka adiknya juga akan bingung dan tak bisa meledeknya lagi. Alias mati kutu. Hek!
“Kenapa mikirin kambing, Kak? Emangnya gak ada yang lebih ganteng dari kambing,” kata Oca lagi.
Tuh kan benar. Sudah begini saja masih ada kesempatan bagi adiknya ini untuk meledek. Apalagi kalau diserius-seriuskan.
“Kamu ingin tahu kenapa kakak mikirin kambing?” Sevi mencoba mengalihkan pembicaraan.
“He-eh.” Oca terpancing. Dan oca belum sadar kalau kakaknya sedang menjebak.
“Kakak sedang mikir kenapa kambing gembel bulunya keriting. Kenapa coba?” Sevi mulai mengarahkan pertanyaannya.
“Karena kambing gak punya salon buat rebonding,” jawab oca.
“Salah!”
“Kenapa, Kak?”
“Karena kambing gembel masih saudara kamu. Kan sama-sama keriting,” kata Sevi sambil tertawa merasa menang.
Giliran Oca yang baru sadar kalau dirinya baru saja dijebak. “Ih, kakak. Walau rambut saya keriting, tapi saya kan ganteng seperti Valentino Rosi.”
“Iya deh, adikku yang ganteng.”
Karena tidak ingin lebih banyak digoda oleh adiknya yang memang paling senang menggoda itu, Sevi pun langsung mengubur dirinya dalam kamar. Dikunci. Disetel radio keras-keras. Biar tak terdengar lagi suara adiknya itu. Eh, pas Dewa sedang bersenandung.
“Tuhan, tolong kirim aku
Kekasih yang baik hati
Yang mencintaiku apa adanya”
Halah! Pas banget ini lagu dengan suasana hati Sevi yang memang sedang dilanda gundah. Sevi yang sedang mendambakan kekasih yang baik hati pula.
Tak terasa, Sevi terlelap sambil mendengarkan radio. Dalam tidurnya, Sevi pun bermimpi. Bertemu Adrian. Teman satu kelasnya. Adrian ditemuinya sedang bercanda dengan Ranti. Mereka terlihat senang sekali. Tertawa-tawa. Berdua. Tak jauh dari situ, ada Ujang sama Lina. Juga sedang bercanda. Tidak berdua sih. Ada juga di sebelahnya Sinta dan Irwan. Mereka semuanya kelihatan bahagia. Seandainya aku punya pacar seperi mereka? Kata Sevi dalam hati.
Tapi sayang, mimpi itu hanya berkelebat saja. Sevi dikegetkan oleh suara ketukan. Suara ketukan pintu yang dilakukan dengan buru-buru. Kontan saja Sevi tergeriap. Nyawanya belum ngumpul semua. Masih Loading.
“Ada apa?” tanya Sevi.
“Mandi dulu tuan putri. Sudah jam setengah empat,” teriak Oca.
“Hah, yang benar!” Sevi kaget. Tidak percaya dengan apa yang dikatakan Oca. Perasaan matanya baru saja terpejam. Tapi kok ya sudah jam setengah empat?
“Lihat saja jamnya,” kata Oca sambil berjalan pergi. Paling-paling mau ke lapangan. Kalau hari terang, memang banyak anak berkumpul di lapangan. Main layang-layang.
“Jamnya salah kali, Ca,” Sevi masih belum yakin dengan apa yang dilihatnya.
“Kalau tidak percaya, ya sudah tidur lagi!” kata Oca sambil menutup pintu.
“Yah, gak bisa lihat Get Maried deh! Film kesukaannya itu terlewati begitu saja. Bagaimana jadinya Guntoro yah. Jadi enggak dia pacaran sama Mai. Pasti gagal, soalnya Mai pasti menolak cinta guntoro. Mai kan orang paling setia kawan. Tak mungkin dia menerima cinta Guntoro. Karena, kalau Mai menerima cinta Guntoro, maka dua teman satu gengnya akan patah hati. Dan gengnya juga bisa bubar,” Sevi bicara sendiri.
***
Sevi baru saja selesai mandi. Hendak salat Asar.
“Assalamualaikum,” ada suara di luar.
Didiamkan saja. Malas keluar. Paling-paling teman Oca. Adiknya memang ganteng. Mungkin banyak perempuan suka dengan gaya rambut Oca yang kriting seperti Valentino Rosi.
“Assalamualaikum,” suara itu seperti sudah pernah didengar Sevi.
Siapa yang datang? Dengan penasaran, Sevi menuju pintu. Dan ternyata betul. Orang yang sedang berdiri di depan pintu itu temannya.
Sevi terbelalak.
Laila. Nurlaila ada di depan pintu. Air mata meluncur deras dari mata cantiknya. Tumben-tumbenan Laila datang. Baru pertama kali Laila ke rumah Sevi. Mereka berdua memang tidak bermusuhan, tapi karena bersaing menjadi yang terbaik, maka mereka pun seakan-akan bermusuhan.
Tak bertanya. Sevi memeluk Laila. Erat. Erat sekali. Sevi tahu. Pasti ada masalah yang berat yang sedang dihadapi temannya yang satu ini. Tak mungkin kalau tak ada masalah, Laila datang ke rumah Sevi. Apalagi dengan membawa air mata segala.
Laila memang terkenal dengan ketangguhannya. Tiga tahun bersekolah bersama, Sevi tak pernah melihat Laila menangis. Jangankan menangis, mengeluh pun tak pernah dilakukannya. Maka Sevi meyakini, seyakin-yakinnya kalau masalah yang sekarang dihadapi temannya pasti lebih berat dari segala-galanya.
Sevi tuntun temannya masuk rumah. Duduk. Masih ada isak. Sevi mengambilkan air putih. Air putih adalah obat paling mujarab. Untuk segala macam penyakit. Dengan air putih segalanya akan teratasi. Maka sevi pun menyodorkan air putih itu untuk mengobati luka hati temannya ini. Mudah-mudahan mengubah hati Laila menjadi lebih tenang.
“Terima kasih, Vi,” kata Laila sambil mengusap air matanya yang tinggal sedikit itu.
“Ah, cuma air putih. Bukan karena aku pelit ya, Lail. Karena menurut nenekku, air putih itu obat untuk segala macam penyakit. Termasuk obat untuk menyembuhkan kesedihan yang mendalam.”
Laila hanya tersenyum.
“Boleh aku cerita, Vi?” tanya Laila.
“Kalau kamu sudah tenang, boleh. Kalau belum tenang hati kamu, nanti saja ceritanya,” saran Laila.
Laila tersenyum. Memeluk Sevi. “Kamu memang sahabat terbaikku, Vi.”
“Jangan lebay, Lail,” kata Sevi. Sevi tidak ingin suasana kaku. Maka ia pun mulai bercanda. Bercanda itu tandanya cerdas, kata Jaya Suprana yang pakar kelirumologi itu. “Mau minum apa lagi? Coca cola? Teh botoh? Tapi beli aja sendiri!” kata Sevi sambil terus mengusung senyumnya.
Kata Mario Teguh, senyum itu bisa menular. Sevi pernah mendengar kata-kata itu sudah lama. Sekarang Sevi menerapkannya. Kan tak mungkin, kalau Sevi banyak senyum, terus Laila cemberut melulu.
“Ih, jahat kamu Vi,” mulai ada senyum di bibir Laila. “Kau tahu gak, Vi?”
“Tahu,” jawab Sevi asal.
“Kok tahu, aku kan belum cerita?” giliran Laila yang bingung sendiri.
“Kamu mau cerita kan?” tanya Sevi.
“Vi, ternyata Fatur...,” tak diteruskannya.
Sevi tak ingin memaksa Laila untuk cerita. Sevi hanya ingin mendengarkan saja. Sebagai sahabat. Mendengarkan juga akan melegakan.
“Kamu mau dengar, tidak, Vi?”
“Enggak!” jawab Sevi.
“Ya sudah saya pergi saja,” Laila merajuk.
“Ya sudah sana!” Sevi tahu kalau Laila hanya bercanda.
“Ih, saya ke sini kan mau cerita?” Laila pun terpaksa balik lagi.
“Ya sudah cerita. Jangan ngomong melulu!”
“Fatur ternyata tidak mencintaiku, Vi. Dia hanya pura-pura saja pacaran denganku. Padahal dia mencintai orang lain,” cerita Laila mendayu-dayu.
“Kok kamu tahu kalau Fatur tidak mencintaimu?”
“Dia sendiri yang bilang. Rupa-rupanya dia mencintai ...,” Laila tak bisa meneruskannya. Tenggorokan Laila langsung tersekat.
“Ya sudah. Kita memang harusnya belajar. Bukan pacaran. Kamu tahu kan, sekarang nilai kamu banyak yang turun,” kata Sevi.
“Kok kamu tidak senang, Vi. Harusnya kamu kan senang kalau nilaiku turun?”
“Aku senang kalau aku dapat mengalahkan nilaimu. Tapi saya tidak senang kalau aku menang hanya karena nilai kamu pada rontok seperti sekarang ini.”
“Iya, deh. Aku akan belajar saja. Ternyata enakkan tidak punya pacar. Mau apa saja terserah kita. Kalau punya pacar, kita terkadang harus mengikuti kemauannya. Ribet, deh,” keluh Laila menggebu-gebu. Padahal kemarin Sevi melihat wajah cerah Laila saat bercanda dengan Fatur.
Sevi mengajak Laila makan somai yang kebetulan lewat. Laila tak menolak ajakan Sevi. Malah nambah. Setelah kenyang, baru dia izin pulang.
“Salat Asar, bareng?” ajak Sevi.
“Di rumah aja!” Laila menolak.
“Ayolah Laila. Kita belum pernah salat bareng. Kamu pasti akan kelewat kalau salat di rumah.”
“Baiklah.”
Mereka salat berdua. Sevi menjadi imamnya. Laila bermakmum di belakang. Selesai salat, baru Laila pulang.
“Terima kasih ya, Vi,” Laila beranjak pergi. Sudah ada senyum di bibir Laila. Mungkin sudah lega.
“Piring udah dicuci belum?” canda Sevi.
Laila hampir saja balik ke dalam rumah. Hatinya tak enak kalau tidak mencuci piring.
“Mau ke mana, Lail?”
“Cuci piring.”
“Udahlah. Biar aku yang cuci,” kata Sevi.
“Bisa?”
“Jangankan cuci piring. Nanti rumah ini juga aku cuci, Lail.”
“Saya juga pura-pura doang.”
******
“Hah!”
Pagi ini betul-betul mengagetkan. Baru saja Sevi mau masuk ke gerbang sekolah. Dilihatnya, Laila yang sedang berjalan berdua dengan Fatur. Kok bisa, ya? Padahal, kemarin Laila baru datang ke rumah Sevi. Baru mengadu tentang Fatur yang katanya lebih mencintai orang lain. Tapi, kenapa pagi ini dia sudah berjalan berdua dengan Fatur?
Bukan!
Sevi sama sekali tidak cemburu pada mereka berdua. Tapi Sevi kaget saja. Kenapa Laila berubah dalam waktu yang belum juga dalam hitungan minggu?
Biarlah. Laila tadi sempat melihat Sevi. Sevi yakin itu. Biarlah. Sevi tak ingin marah. Mungkin ada alasan lain dari Laila.
****
Saat istirahat. Sevi tak ingin keluar kelas. Buku di tangannya belum selesai di baca. Toh, perut Sevi tidak lapar. Sampai kemudian datang Fino dengan tergopoh-gopoh. Sambil bicara tidak jelas. Hanya terdengar sayup-sayup ada anak pingsan.
“Siapa?” tanya Sevi sambil ikut berlari.
“Laila,” jawab Fino.
“Kenapa?” tanya Arita.
“Tidak tahu. Mendadak pingsan.”
“Vi, cepat ke sana!” ajak Fino sambil menyeret tangan Sevi.
“Kok aku harus ke sana?” Sevi tak mengerti.
“Iya. Dia memanggil-manggil nama kamu saat siuman,” jelas Fino.
Laila memang terlihat lemah. Mukanya pucat. Rambutnya juga acak-acakan. Sevi tahu, ada rahasia yang dipendam Laila. Dan mungkin Laila menganggap saat ini adalah saat yang tepat untuk mengatakannya.
“Kamu marah, Vi?” tanya Laila sambil berusaha duduk. Tapi dilarang Fino.
“Tidak. Aku tidak bakat untuk marah, Lail,” canda Sevi. “Kalau aku marah, mukaku malah kelihatan lucu. Kemarin saja aku marah satu menit, eh malah adikku tertawa lima jam tak henti-henti. Maka sejak saat itu, saya putuskan untuk tidak marah lagi,” kata Sevi.
“Kenapa?” tanya Laila.
“Kenapa harus marah?” Sevi balik bertanya.
“Kamu tahu, Vi?”
“Apa?”
“Fatur ternyata lebih memilih kamu.”
“Biarlah, Lail.”
“Kok biarlah?”
“Karena aku lebih memilih sahabat.”
“Maksudmu?”
“Bagiku kamu lebih berharga daripada Fatur.”
Tak ada lagi suara. Laila langsung memeluk Sevi. Erat. Erat sekali. Sevi merasakan bulir-bulir air mata yang jatuh di punggungnya. Sevi merasakan penyesalan yang tulus dari Laila. Dari dalam hati.
Dan Sevi memaafkan sahabatnya ini. Sahabat lebih baik daripada seorang pacar. Mereka berdua tersenyum. Menikmati nyanyian hati. Hati yang penuh dengan persahabatan. Sampai kapan pun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H