Lihat ke Halaman Asli

Mochamad Syafei

TERVERIFIKASI

Menerobos Masa Depan

Buku Harian Shella

Diperbarui: 11 Juli 2015   08:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Seperti biasa.  Pagi selalu memunculkan asa.  Mungkin inilah gunanya pagi.  Seandainya pagi tak ada, mungkin asa juga sudah lama tiada.  Dan karena pagi hadir setiap hari, maka asa selalu menghampiri siapa pun termasuk hadir di hati Sevi hari ini.

Hari ini Sevi memang sedang bahagia.  Shela semalam pergi dari rumahnya.  Pergi untuk selama-lamanya.  Dan mudah-mudahan tak lagi muncul di hadapan Sevi.

Shela memang sudah kembali ke orangtuanya.  Orangtua Shela sudah mendapatkan rumah baru di kota Tegal.  Di tempat tugas barunya.  Papa Shela memang seorang pegawai pajak.  Walau Papa Shela pegawai pajak, tapi Papa Shela tidak seperti Gayus Tambunan, lho.  Papa Shela jujur dalam melaksanakan tugasnya.  Tak pernah korupsi.  Walau hidupnya tak miskin, Papa Shela juga tak kaya.  Apalagi bergelimang harta.

Shela malah hidup dalam terpaan kedisiplinan.  Sejak kecil Shela selalu dididik untuk disiplin dan mandiri.  Mama Shela memang seorang guru.  Guru yang menurut Shela lebih disiplin daripada tentara sekali pun.  Sejak kecil Shela harus selalu bisa mengatur waktunya.  Mengatur keuangannya.  Mengatur segalanya.

Karena kemandiriannya itu, Shela dititipkan sementara di rumah Sevi.  Ayah Sevi dan Papa Shela memang bersaudara.  Kakak dan adik.  Ayah Sevi anak nenek yang ketujuh.  Sedangkan Papa Shela anak nenek yang ketiga.  Nenek memang memiliki anak banyak.  Ada sepuluh.  Sehingga kalau ada kumpul keluarga, sudah lebih dari satu RT.  Kalau demikian, Sevi berarti sepupu Shela.

Tapi ya itulah.  Walau sepupu, antara Shela dan Sevi itu perbedaannya bagai bumi dan langit.  Bagai timur dan barat.  Kalau Shela anaknya mandiri, maka Sevi pasti kebalikannya.  Sevi selalu tergantung pada orang lain.  Terutama dengan Mbak Salamah.  Setiap memerlukan sesuatu pasti yang terdengar adalah teriakan Sevi.

“Mbak...!” itulah senjata utama Sevi.

“Ada apa, Vi?” tanya Mbak Salamah yang selalu lari tergopoh-gopoh kalau dipanggil Sevi.  Bukan apa-apa, kalau dipanggil dan tidak cepat-cepat datang, maka teriakan Sevi bisa terdengar sampai ke Ujung Kulon.  Kasihan kan badak-badak di Ujung Kulon kalau sampai lari terbirit-birit mendengar teriakan menggelegar membelah angkasa dari manusia mungil bernama Sevilla. 

Menurut sejarah yang memang belum ditulis oleh para ahli sejarah sehingga belum diajarkan oleh guru-guru sejarah di sekolah,  Ayah Sevi memang penggemar bola, terutama klub-klub bola di Spanyol.  Sehingga pas nongol anaknya yang ternyata perempuan maka dinamakan Sevilla.  Tadinya mau dinamakan Madrid seandainya saja jabang bayi yang nongol adalah laki-laki.  Tapi karena yang muncul ke dunia ini seorang anak perempuan yang dikatakan sohibul hikayat sebagai perempuan paling cantik di RT itu, maka rencana pertama pun dibatalkan.  Tak mungkin ada anak perempuan cantik namanya Madrid.  Nanti malah dipanggilnya Bang Madid Musyawarah, tokoh paling pelit di Sinetron yang sekarang banyak ditonton ibu-ibu itu.  Kan berabe.  Iya kan?

Eh, kembali ke laptop, eh ke cerita tadi.

“Mana buku bahasa Indonesia saya?” tanya Sevi yang sedang berkutat dengan buku pelajaran hari itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline