Ridwan Kamil dikritisi habis habisan karena lebih mementingkan mendirikan masjid dengan anggaran pemerintah dibandingkan untuk mendahulukan pembenahan fasilitas umum, seperti transportasi publik di Jawa Barat.
Sebelumnya, Luhut juga dikritisi habis habisan karena lebih mementingkan pemberian subsidi kendaraan listrik, alih-alih membenahi transportasi publik yang semua toh sudah tahu keadaan nya yang compang camping dan carut marut.
Akhirnya muncul celetukan, "Jika para pejabat tidak dipaksa untuk nail transportasi publik yang tak layak di daerah kekuasaannya, maka mereka tak mungkin menyediakan sedikit tempat di otaknya untuk memikirkan kebijakan berkaitan dengan transportasi publik".
Lalu, para pejabat itu berteriak teriak kencang sekali tentang kemacetan yang tak pernah mampu diselesaikan nya. Seolah olah mereka sudah berbuat sesuatu tanpa berbuat sesuatu pun.
Kemunculan "jalan berbayar" merupakan konsekuensi wajar dari para pemimpin yang tak peduli transportasi publik. Seakan akan dengan menjual program "jalan berbayar" maka kemacetan otomatis akan minggat dari kota yang dipimpinnya.
Bagaimana bisa memajaki jalanan tanpa upaya konkret untuk memperbaiki transportasi publik?
Sudah berkali-kali disuarakan untuk pembenahan transportasi publik. Eh, malah bus transjakarta pun dikandangin begitu saja tanpa alasan jelas. Sementara, pada jam sibuk terjadi pemandangan nemilukan di wajah transportasi publik kita.
Benahi saja transportasi publik di setiap kota. Jika transportasi publik sudah ideal, manusia mana yang rela bermacet macet ria.
Pemajakan jalan melalui "jalan berbayar" cuma cara berkelit dari penguasa malas berpikir.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H