Kalau dipikir pikir, memang sial juga nasib PKS. Setiap partai, ketika berkoalisi tentu berharap ada keuntungan yang didapat. Walaupun kadang kerugian juga. Akan tetapi, berkoalisi dapat juga diartikan jika untung dinikmati bersama dan jika rugi ditanggung renteng juga.
Dapat dikatakan lebih dari 5 tahun PKS bergandengan tangan dengan Gerindra menjadi partai oposisi terhadap pemerintahan Jokowi. PKS memang mendukung Prabowo sebagai capres, waktu itu. Bersama Gerindra, Golkar, PPP, dan beberapa partai lainnya.
Setelah Prabowo kalah dalam kontestasi pilpres, hanya PKS masih berjalan seiring dengan Gerindra sebagai oposisi. Golkar bahkan sudah berbalik menjadi partai pendukung pemerintah. Demikian juga dengan PPP.
Ketika pemilihan gubernur DKI, PKS juga masih setia beriringan jalan bersama Gerindra. PKS bahkan berkorban cukup besar untuk koalisi mendukung cagub DKI. Kadernya yang sudah digadang gadang menjadi cawagub pun ditarik.
Calon yang diusung akhirnya Anies-Sandi. Anies yang independen karena tak punya partai didampingi Sandi yang merupakan kader Gerindra. PKS tak dapat apa apa.
Tapi menang pilgub DKI.
Di perjalanan, Sandiaga Uno yang sudah menjadi pasangan Anies di DKI mundur karena ikut pilpres sebagai cawapres Prabowo. Berarti kursi orang nomor 2 DKI kosong. Kabarnya akan dijatahkan untuk kader PKS.
Namun mendadak alot. Perkembangan di DPRD melewati jalan lain. Prabowo sudah masuk menjadi anggota kabinet Jokowi. Sudah tidak ada oposisi kecuali PKS. Demokrat sendiri tidak memiliki kelamin yang jelas, waktu itu.
Bukan kader PKS yang akhirnya terpilih menggantikan Sandiaga Uno untuk mendampingi Anies. Perkembangan politik justru melempangkan jalan kader Gerindra yang sudah bermesraan dengan partai pemerintah.
Sekarang, PKS sedang membangun koalisi dengan Nasdem dan Demokrat. Untuk capres sudah dapat dipastikan tak berubah. Karena Anies yang memiliki elektabilitas tertinggi.