Hari ini saya merasakan sedih sekali membaca judul yang saya pergunakan di atas dalam Kompas cetak, 22 Desember 2021. Seorang anak yang harus bermalam di hutan sendirian, kemudian berjalan lagi untuk numpang kendaraan ke Yayasan tempatnya sekolah selama ini.
Anak perempuan itu masih berusia 13 tahun. Masih duduk di kelas 8 SMP. Dan dia masih ingin terus bersekolah karena ingin menjadi seorang guru.
Sebetulnya dia sedang berlibur. Tapi kemiskinan orang tuanya yang kemudian membuat anak tersebut harus mau dikawinkan dengan laki-laki dewasa. Pemaksaan yang sering terjadi dengan alasan yang selalu sama:Ekonomi.
Yayasan tempat si remaja perempuan itu sekolah juga kembang kempis. Hidup hanya dari donatur yang selalu kurang untuk hidup setiap bulannya. Sehingga mereka sendiri melakukan banyak hal untuk menutupi itu.
Cerita ini semakin miris jika dibandingkan dengan dana otonomi khusus yang hitungannya triliunan. Ke mana uang triliunan otonomi khusus mengalir?
Sinyalemen bahwa dana otonomi khusus dijadikan bancakan pejabat di Papua bukan rahasia lagi. Sehingga dana otonomi khusus tidak mengucur ke yayasan pendidikan yang mencoba meretas masa depan anak anak Papua.
Seharusnya dana otonomi khusus cukup untuk membangun pendidikan yang maju di papua. Pendidikan yang juga gratis karena banyak warga Papua, terutama di daerah-daerah pedalaman yang masih hidup dalam kemiskinan.
Tidak ada cara lain kecuali membereskan penggunaan dana otonomi khusus agar tak ada lagi anak perempuan Papua dipaksa kawin padahal mereka sendiri masih ingin meraih cita-cita mereka di bangku sekolah.
Ayo, para pejabat Papua bergeraklah nurani kalian untuk membangun Papua lebih baik lagi. Tak akan maju Papua jika pendidikan dilalaikan.