Membaca buku yang ditulis Agustinus Wibowo, kita bisa ikut merasakan keterbelakangan rakyat Afganistan. Padahal, cuma dibandingin dengan Tajikistan. Sebuah negara pecahan Uni Soviet yang juga masih berjuang untuk meningkatkan ekonomi nya setelah pisah.
Antara Afganistan dengan Tajikistan cuma dibatasi oleh sebuah sungai belaka. Sehingga orang-orang Afganistan di seberang sungai dapat melihat lalu lalang mobil di jalan beraspal di Tajikistan.
Lebih parah lagi, orang-orang di Afganistan tidak sekolah. Sedangkan di Tajikistan hampir semua warganya sudah lepas dari buta huruf.
Tanpa pendidikan, Afganistan memang akan terus bergejolak. Kebodohan adalah pangkal semuanya.
Kekonservatifan Taliban juga bisa jadi cermin dari pendidikan yang rendah rakyat Afganistan. Jika mereka sudah mulai terdidik mungkin mereka akan lebih berhasrat untuk maju.
Bagaimana pun ketenangan sebuah negara sangat diperlukan. Dalam artian, meskipun di bawah kekuasaan lalim, masih lebih baik daripada sebuah negara yang terus dilanda pergolakan tiada henti.
Ketenangan akan membuat sebuah pemerintahan punya waktu untuk membangun. Dan pembangunan pendidikan akan berdampak pada sebuah kesadaran akan sebuah kemajuan.
Semoga saja, Taliban bisa membuat ketenangan. Dalam maksud, tak ada gejolak berarti di Afganistan.
Semoga pula, dalam ketenangan tersebut, Taliban mampu membangun dunia pendidikan menjadi lebih baik di Afganistan. Walaupun pada awalnya akan sulit untuk langsung membolehkan perempuan pergi ke sekolah, suatu saat, ketika pendidikan sudah maju pasti akan muncul perubahan dari dalam.