Jamanku kecil tak ada buku. Karena aku hidup di sebuah kampung terpencil di kaki gunung. SD tempat aku belajar juga tak punya perpustakaan.
Buku menjadi barang tak ternilai. Habis, emang gak ada buku bacaan sama sekali. Tiap hari kerjanya main ke sawah atau kebun atau kali bersama teman teman. Karena televisi hitam putih pun cuma ada satu di kampungku. Itu pun jarang dinyalakan karena aku nya lebih sering tekor karena sudah soak dan pemiliknya tak punya uang untuk memgganti. Televisi di kampung ku itu bisa dipastikan menyala oke cuma kalau ada pertandingan tinji Muhammad Ali. Titik.
Jadi, gak bisa cerita buku di sini.
Tapi ketika aku punya anak, aku sadar betul tentang pentingnya buku. Karena waktu bari nyampe di Jakarta ini, aku hampir tiap ari nongkrongin buku di perpustakaan kampus, perpustakaan Pusat Bahasa, perpustakaan Nasional, perpustakaan umum Tanah Abang, perpustakaan HB Yasin. Hidupku muter di tempat tempat itu. Sampai lupa kalo pacaran juga perlu.
Kebetulan aku tinggal di Kayu Manis. Cuma cukup jalan kaki untuk sampai Gramedia Matraman. Sehingga anakku sudah biasa ke toko buku bahkan ketika usianya baru dua tahun.
Anakku senang beli buku bergambar. Sehingga suka mlipir baca hurufnya. Tak salah jika ketika sudah mulai TK, mengajari temannya membaca. Seneng juga liatnya.
Karena suka jika mampir ke Dunkin Donat yang ada di samping Gramedia, anakku selalu mengajak ke sana jika lihat bapaknya libur. Tak apalah, walaupun sulit membedakan senang Dunkin donat nya atau suka bukunya.
Ketika masuk SD, bukunya sudah berubah menjadi KKPK. Buki buku terbitan Mizan yang penulisnya juga anak anak itu betul-betul menjadi pengisi waktu luang anakku. Masih untung juga belum ramai HP. Mainannya paling laptop doang. Itu pun tak pernah menghabiskan kuota seratus ribu dalam sebulan. Belum ada permainan yang bikin mabok.
Bagaimana sekarang?
Saya lihat dia sudah mengoleksi buku Pramudya Ananta Toer. Juga buku buku Sapardi. Juga buku Laila Chudori.