Kemampuan guru dalam membuat soal masih sangat memprihatinkan. Baru kemarin saya mengembalikan soal US salah satu mapel yang dibuat dengan cara yang salah. Dan karena kesalahannya sangat mendasar, akhirnya guru tersebut disuruh menulis dari awal lagi.
Belum lama juga ada guru yang menulis soal tentang Anis dan Mega. Kemudian juga di Jawa Tengah ada soal tentang Pak Ganjar. Sebetulnya, bukan karena nama nama itu saja tapi juga kemampuan guru guru dalam membuat soal memang memprihatinkan.
Barusan membaca seorang Indonesia yang menjadi dosen di salah satu negara Eropa dalam twit-nya tentang soal di sebuah SD yang kabarnya ada di daerah Tangerang Selatan.
Kenapa soal anak SD tentang zakat, bunyi soalnya tentang Saidun yang memiliki istri dua?
Kalau guru pembuat soal sedikit berpikir, tentunya untuk menambah jumlah pembayar zakat dalam sati rumah mestinya anaknya yang berjumlah dua. Karena kalau istrinya yang berjumlah dua malah akan membingungkan anak anak.
Dan secara psikologis, seorang anak tidak seharusnya diajarkan tentang seorang istri. Terlalu jauh sekali dunianya. Atau gurunya yang memang berhasrat banget memiliki istri dua? Sebuah obsesi yang tak bisa dibendung lagi?
Ujian Nasional memang menjadi biang keroknya. Sejak ada ujian nasional, guru dicabut haknya untuk menilai pembelajaran anak didiknya. Penilaian diambil alih oleh negara melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Sebagai akibat lanjutannya, ulangan semester juga kewenangannya diambil paksa oleh dinas pendidikan sebagai persiapan UN. Sekolah harus memiliki standar tingkat kabupaten atau kota.
Guru guru tertentu saja yang dilatih membuat soal. Guru guru lain tinggal memakai soal yang sudah disediakan, baik oleh Dinas Pendidikan maupun Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Akhirnya, guru tak lagi bikin soal. Akhirnya, tak pelatihan pembuatan soal yang baik dan benar untuk guru guru secara keseluruhan.