Ketika zaman UN, guru akan dijadikan sasaran ketidakberhasilan UN. Karena hasil UN akan menjadi modal politik bupati atau walikota untuk mencalonkan kembali dirinya.
Bupati memarahi kepala dinas, kepala dinas memarahi kepala sekolah, kepala sekolah memarahi guru. Guru menjadi bingung. Kadang ditumpahkan kebingungannya kepada siswanya.
Memasuki kelas 9 atau kelas 12, seorang siswa langsung diteror UN. Bahkan ada yang sudah meneror siswa sejak kelas 7 atau kelas 10.
Alhamdulillah, UN sudah dikubur dengan baik dan benar oleh Nadiem. Mas Menteri yang hendak menghalau UN pada tahun ajaran 2019/2020, karena mendadak corona akhirnya dipercepat mulai tahun ajaran 2018/2019 lalu.
Teror teror itu sudah menghilang dari sekolahan. Guru sudah mulai merapikan dirinya sendiri. Mencoba belajar banyak lagi karena ada hal baru yang mau tak mau harus dilakoninya. Belajar jarak jauh. Mulai dengan gagap sekarang sudah mulai bisa adaptasi.
Siswa dengan nilai 4 itu bisa membangun kepercayaan dirinya karena dibantu seorang guru yang telaten. Siswa yang sudah mendapatkan nilai 8 tetap dipacu agar semakin melejit.
Siswa yang nilai awalnya 4 bisa bertambah menjadi 6 sedangkan siswa yang nilainya 8 bertambah menjadi 9. Maka guru itu bersyukur. Terutama untuk muridnya yang sudah dapat meningkatkan dirinya dari 4 menjadi 6.
Tapi sayang, sekolah menetapkan KKM 7, maka siswa dan guru pun bingung. Ini salah satu teror yang masih terjadi. Siswa bukan dilihat dari perkembangan nya tapi ada nilai minimal yang akan menghambat ya.
Asesmen Nasional akan mengukur lembaga atau institusi sekolah. Bukan untuk menilai siswanya. Siswa tak usah tertekan karena AN.
Tapi, lagi lagi AN akan menjadi monster dan meneror guru ketika hasilnya merupakan rapor sekolah. Sekolah akan berupaya mendapatkan nilai bagus dong. Bagaimana caranya?