Berbagai macam indeks diciptakan untuk melihat keberhasilan seorang pemimpin dalam memimpin sebuah negara atau daerah. Setiap kepemimpinan akan diukur dengan indeks indeks yang semakin mendekati kebenaran pengukuran.
Beda dengan gubernur DKI.
Mengukur keberhasilan gubernur DKI cukup menggunakan alat ukur banjir saja sudah cukup. Mau koar koar seperti apa dan menggunakan apa pun, kalau masih ada banjir di DKI, maka percuma saja. Anda telah gagal dan total.
Jakarta selalu kebanjiran. Mungkin. Tapi persoalan itu yang dititipkan untuk Anda, yang kebetulan duduk di balaikota, untuk segera dibenahi. Kalau setelah Anda duduk di sana kemudian mengeluhkan hujan, lebih baik Anda turun saja. Anda gagal. Bahkan Anda tidak layak duduk di sana.
Semua orang tahu. Problema Jakarta paling akut ya itu. Sebagai calon gubernur juga tahu. Makanya ketika hendak mencalonkan diri, pasti semuanya jualan cara praktis mrngusir banjir dari Jakarta.
Kenapa kemudian Anda bilang salah hujan?
Ah, itu sih cara bodoh mengelabuhi kami. Karena ketidakbecusan Anda sendiri. Jangan jadikan kebodohan Anda seolah-olah kebodohan kami.
Tidak serta merta hilang, mungkin. Tapi kami salut dengan mega proyek Kanal Banjir Timur. Kanal Banjir Barat katanya sudah dibikin sejak Belanda. Sedang Kanal Banjir Timur tak kunjung dibangun walaupun perencanaan sudah puluhan tahun.
Ketika Sutiyoso mulai proyek itu, jelas itu sebuah kebijakan yang sangat visioner. Kemudian diteruskan oleh Fauzi Bowo. Dan seharusnya diteruskan lagi oleh Jokowi, Ahok, dan kemudian Anies.
Sampai Ahok masih terus berjalan. Terutama dengan membangun terowongan dari Ciliwung. Tapi kemudian hilang bersama turunnya Ahok.