Sahdan, ada sebuah cerita. Seorang anak dimasukkan ke dalam neraka karena perbuatan dosa dosanya yang begitu menggunung ketika hidup di dunia. Bapak si anak yang masuk neraka tersebut ternyata seorang ulama yang memiliki amalan amalan baik menggunung. Sehingga bapaknya masuk ke surga.
Si anak protes, kenapa dia berbuat banyak dosa karena bapaknya lalai untuk mengajari dia nilai nilai baik. Jadi, beban kesalahan bukan mutlak kesalahannya. Ada andil besar bapaknya yang lalai.
Singkat kata, bapaknya yang sudah masuk surga pun ditanya. Ketika benar bapaknya telah melakukan kelalaian, maka bapaknya dipindahkan dari surga ke neraka.
Apa makna di balik cerita tersebut?
Orang tua, sesibuk apa pun harus mau meluangkan waktu untuk membangun karakter anak anaknya. Pembangunan karakter dilakukan melalui penanaman nilai nilai baik. Apa yang sudah baik harus diwariskan pada keturunan agar terus terabadikan.
Zaman sekarang sudah ada sekolah sebagai lembaga pendidikan. Akan tetapi, orang tua tidak boleh lepas diri dari kewajiban mulia tersebut. Orang tua tidak boleh berdalih bahwa mereka sudah memberikan wewenangnya kepada guru.
Guru betul melakukan pendidikan. Hanya saja, guru tidak mungkin melakukannya dengan sentuhan sentuhan personal ke semua anak didiknya. Guru lebih sering bersifat umum.
Sentuhan sentuhan personal dalam pewarisan nilai itu sangat penting. Tidak semua nilai diperlukan saat itu untuk ditanamkan pada semua anak. Perlu memperhatikan perkembangan psikologis seorang anak.
Persoalan begitu maraknya akhir akhir ini fenomena anak menggugat orang tuanya, tidak melulu kesalahan ditimpakan kepada anak. Bahkan dengan langsung mengecapnya sebagai anak durhaka. Bisa jadi anak tersebut memang tak pernah dibekali nilai nilai oleh orangtuanya.
Jika ada anak durhaka, bisa juga ada orangtua durhaka. Jika anak durhaka adalah anak anak yang tak mau menghormati orang tuanya, orang tua durhaka adalah orang tua yang telah melalaikan tugasnya untuk mewariskan nilai nilai luhur kepada anak-anaknya.