Sebagai seorang yang memproklamirkan diri ke mana mana sebagai pengarang, aku malu dalam hati karena belum satu buku pun tercipta dari tanganku sendiri. Aku punya buku sendiri tapi buku nikah. Lucu kan?
Maka, dengan ketebalan tekad yang tak mungkin ditipiskan lagi, aku mulai menulis di Kompasiana. Kompasiana bukan tujuan terakhir perjalanan karierku sebagai seorang pengarang. Kompasiana itu cuma sasaran antara.
Sehingga, aku tak peduli tulisanku dihargai sebagai pilihan atau bahkan artikel utama. Kalau dijadikan artikel utama gak bangga, gak sombong. Kalau dijadikan artikel pilihan juga tak pernah dihitung. Karena yang dihitung pasti jumlah viewers nya.
Puluhan tahun nongkrong di Kompasiana, buku belum juga terwujud. Jangan kan sebuah buku, halaman pertama saja belum mulai kutulis. Aneh kan?
Tidak. Tidak aneh. Karena semua cita cita masih bergantung sekali pada semangat si empunya cita cita untuk merealisasikan cita cita tersebut. Ya, semangat itu yang penting dan semangat itu masih membara di hatiku.
Judul buku sih udah ada. Sudah dipikirkan sangat dalam. Karena, buku mesti punya judul. Dan judul letaknya pasti di awal. Paling esensial karena akan dilihat pertama kali oleh pembaca. Judul yang menarik akan mendorong seseorang membelinya. Demikian juga sebaliknya. Kalau emang pengen dibalik.
"Wah ada pengarang handal. Bagaimana kabar? " Itulah sapaan akrab dari teman temanku. Apalagi mereka temanku yang lama tak bersua.
"Baik. Seperti yang kaulihat. "
"Bagaimana bukumu pengarang? "