Anak kampung diterima kuliah di kota besar tentu membanggakan. Bapakku saja selalu cerita ke mana mana waktu tahu aku diterima kuliah di kota. Dan aku memang orang pertama di kampung ku yang bisa makan bangku kuliahan.
Tapi, persoalan uang adalah persoalan utama. Mau tidur di mana di kota? Kalau kos, mau bayar pakai apa?
Bapakku cuma seorang petani klutuk. Penghidupan nya ya dari segala yang ada di sawah dan di kebun. Sawah, baru empat bulan bisa menghasilkan padi. Itu pun cuma cukup untuk makan keluarga.
Jadi, waktu datang ke kampus di kota, pertama yang aku survei adalah masjid atau musola dekat kampus. Biasanya, ada yang butuh marbot. Lumayan untuk numpang tidur.
Ternyata, hampir semua masjid punya marbot. Sementara, beberapa musola tak punya ruang kecil pun untuk marbot. Akhirnya, numpang bareng di masjid yang marbotnya kakak tingkat.
"Mau kos gratis? " kata salah seorang kakak tingkat ketika aku tanya tentang kos murah meriah.
"Gratis? " tentu aku heran mendengar ada tempat kos gratis.
"Tempat kos plus plus, tapinya. "
"Apa maksud nya plus plus? " dibayangku tentang kos cewek. Tapi, aku kan cowok maco?
"Nanti sore aku ajak kamu ke sana. Dekat kosanku, kok. "