Demo yang gak kreatif pasti membosankan. Demo yang membosankan akan berujung pengrusakan. Pembakaran fasilitas umum tak usah disesali jika demo tak juga jelas arahnya.
Demo memang diperbolehkan dalam alam demokratis. Karena demo menjadi sarana untuk menyampaikan aspirasi jika saluran lain tak memungkinkan lagi. Atau dapat dikatakan jika demo adalah alternatif terakhir yang jarang ditempuh kecuali terpaksa.
Dengan demikian, demo bukan budaya. Apalagi menjadi salah satu mata pencaharian. Akibatnya, demo akan dikecam. Dan akan dihindari oleh orang orang waras.
Kalau demo memang menjadi saluran demokratis, sebaiknya negara memikirkan tempat untuk demo yang nyaman. Memindahkan demo dari jalanan perlu dipikirkan dengan matang.
Misalnya saja, untuk daerah Jabotabek, disediakan Gelora Bung Karno sebagai tempat demo. Sediakan panggung untuk mereka orasi. Sediakan audio yang suaranya jernih sehingga pesan sampai. Jangan audio asal asalan yang bikin pekak telinga doang.
Jika mereka berkumpul di Gelora Bung Karno, mereka tak akan anarkhis. Kalau masih ada yang anarkhis, koordinator atau penanggung jawab demo yang wajib memperbaiki setiap kerusakan. Jika mereka berani memimpin demo, maka harus berani pula menanggung risikonya. Bukan seperti sekarang, para pemimpin demo tak dituntut jika ada pembakaran halte transjakarta yang biayanya milyaran.
Dengerin ocehan tentu membosankan. Jika ada demo, panitia demo harus menyewa grup musik yang asik. Kalau ada musik, biasanya acara tak membosankan.
Polisi tak lagi setres mikirin demo. Mereka bisa bekerja di Gelora sambil nonton juga. Semua senang. Semua tenang.
Ada yang luka?