Hanya Gus Dur yang berani mengembalikan milik masyarakat kepada pemiliknya setelah puluhan tahun direnggut negara. Negara terlalu rakus dan tak percaya diri. Semua hendak diatur dan direngkuh dalam kekuasaannya.
Maka, dengan percaya diri yang tinggi sebagai mantan aktivis LSM, Gus Dur pun bubarkan Departemen Penerangan dan Departemen Sosial. Gus Dur kembalikan kewenangan dalam hal tersebut kepada masyarakat.
Sebelum reformasi, semua tahu, bagaimana negara mengatur informasi begitu ketat. Tak ada dan tak boleh ada informasi yang tak diketahui oleh negara. Maka Departemen Penerangan pun mewujud sebagai raksasa penjaga lalu lintas informasi di negeri ini. Kata bredel menjadi mantra pamungkas untuk mereka yang tak patuh terhadap negara dalam menyebarkan informasi.
Departemen Sosial juga mengerdilkan gotong-royong yang sudah mendarah daging dalam jiwa masyarakat negeri ini. Departemen Sosial justru membuat masyarakat akhirnya bergantung kepada negara.
Kecenderungan negara untuk melebarkan rengkuhan kekuasaannya memang dapat dilihat dari hasrat negara membentuk aneka lembaga sebagai kepanjangan tangannya. Lembaga lembaga tersebut tentu bersisi dua. Di sisi pertama, lembaga itu mencerminkan keangkuhan negara yang hendak ikut campur dalam segala urusan. Di sisi lain, masyarakat menjadi lemah dan menjadi makhluk bergantung.
Keinginan Presiden Jokowi untuk membubarkan 18 lembaga, sangat patut diapresiasi. Selain, hanya menjadi beban anggaran negara, kiprah mereka pun tidak jelas. Mereka memang nyaris tak terdengar.
Negara cukup mengurus hal hal mendasar saja. Sebagian besar justru lebih baik diserahkan kepada masyarakat untuk mengelola nya. Beban negara tidak menjadi berat, sekaligus masyarakat juga tak terbelenggu dalam kebergantungan.
Cukup kah membubarkan 18 lembaga?
Tentu tidak cukup. Apalagi kalau alasan hanya demi efisiensi anggaran. Karena Pak Presiden juga banyak mengangkat wakil menteri yang juga membuat beban anggaran. Bubarkan juga jabatan wakil menteri yang terlihat tak banyak gunanya itu, kecuali hanya demi akomodasi politik belaka. Toh, selama ini, tanpa wakil menteri pun sudah dapat berjalan baik, jika menteri nya kompeten.
Dan, yang mungkin ada banget film depan mata dan tak ada guna tentunya lembaga yang diberi nama staf khusus presiden. Sangat membebani anggaran dan tak ada guna. Ini yang seharusnya paling awal dibubarkan.