Kisah ini sebetulnya dilarang untuk diceritakan kepada siapa pun. Juga tidak kepada kamu. Tapi, entah kenapa, keinginan untuk melanggar larangan itu semakin hari semakin membukit saja. Dan akhirnya, aku tak mungkin lagi membendung nya.
Kisah ini bukan kisah sembarangan. Kisah ini sudah disimpan dan tersimpan rapi di sebuah kitab turun temurun yang sangat langka. Menurut kakekku, kitab kisah kisah tentang Iblis ini hanya ditulis dalam tiga buku. Tidak dicetak tapi ditulis tangan.
Dan salah satu dari tiga buku itu ada di garis keturunan yang sekarang sampai ke aku. Kata kakek, kakek sendiri merupakan keturunan ke 121 dari si penulis buku. Berarti, aku keturunan ke 122. Kok bisa? Karena ayahku tak sempat terlewati. Ayahku meninggal lebih dulu dari kakek.
"Jangan dikisahkan, ya? "pesan kakek.
Sebagai cucu yang baik, sampai sekarang aku tak pernah menceritakan kisah kisah Iblis itu. Aku tetap menjaga kerahasiaannya. Sampai kemudian istriku menemukan buku itu.
" Ini buku apa? " tanya istriku waktu pertama kali menemukan buku yang terlihat bagus walaupun agak buram huruf hurufnya.
"Buku biasa, " jawabku yang sudah pasti tak akan memuaskannya.
Tapi biarlah. Kalau aku jelaskan, aku malah melanggar dua hal. Pertama, melanggar sumpah ku pada kakek. Kedua, melanggar sumpah pewaris dari berpuluh-puluh generasi sebelumnya.
"Penasaran. Buku apa sih yang kemarin, aku temukan? " tanya istriku menjelang kami melakukan ritual malam jum'atan.