Bapak meninggal mendadak. Katanya serangan jantung. Bapak sudah pensiun. Sebelum meninggal, Bapak hanya tinggal berdua dengan ibu. Anak Bapak ada lima. Semua sudah pasangan dan tinggal di rumah masing-masing.
Aku anak ketiga. Anak tengahan. Kakakku dua. Semua perempuan. Adikku dua, laki-laki dua duanya.
Semua sudah kumpul. Bersama ibu juga di ruang tengah. Malam setelah penguburan Bapak.
"Peninggalan Bapak tak ada, kecuali rumah yang ibu tinggali ini," kata ibu.
Anak anak Bapak sudah tahu semua. Bapak tak pernah mendapatkan warisan tanah. Ibu juga tak pernah mendapatkan warisan tanah. Bapak juga tak pernah membeli tanah. Bapak merasa cukup dengan gajinya sebagai pegawai kecamatan. Kami berlima dapat bersekolah. Paling tidak, semua nya sudah merasakan bangku kuliah.
Semua itu dibiayai dari gaji Bapak. Kepandaian ibu mengatur segalanya, yang membuat semua kebutuhan dapat teratasi.
"Hanya ada warisan satu lagi yang harus kalian bicarakan, " tambah ibu yang membuat kami saling pandang.
"Bapak memiliki keris turun temurun dari kakek kakek dan kakeknya lagi. "
Ibu berhenti sebentar. Menarik nafas dalam dalam. Agak berat. Seakan ada beban yang harus ditanggungnya.
"Kira kira siapa yang bisa memelihara keris warisan turun temurun itu? "
Tak ada yang menjawab. Kami, tentunya tak ada yang percaya dengan benda begituan. Tak mau terbebani. Kabarnya ada keharusan keharusan yang mesti dilakukan untuk pemeliharaan benda keramat seperti keris.