Sindiran Anies sebagai gubernur terhadap Jokowi sebagai presiden tentu tidak etis. Bagaimana pun juga, Jokowi masih sebagai presiden negeri ini. Berarti pula Jokowi masih menjadi atasan Anies sebagai seorang gubernur.
Kunjungan Anies kepada orang yang dianggap korban kerusuhan di satu sisi dan pengabaian nya terhadap korban polisi juga kurang elok. Kalau pengin adil, Anies harus kunjungi kedua korban.
Hanya saja, ketika Anies mengatakan tak akan melakukan operasi yustisi setelah lebaran terhadap pendatang baru di Jakarta, saya sangat setuju dengan hal ini.
Selama ini dengan dalih macem-macem tapi tampak hanya sebagai upaya tak berdasar, selalu dilakukan operasi yustisi terhadap para pendatang baru di Jakarta. Jakarta seolah olah menjadi kawasan tersendiri yang bukan lagi masuk dalam teritori Indonesia sehingga ada pembatasan orang dari daerah lain, walaupun masih sesama Indonesia.
Jakarta harus terus terbuka. Jakarta tak boleh merasa lebih baik dan menjaga diri nya dari keburukkan para pendatang. Jakarta masih merupakan wilayah Indonesia dan berarti pula sangat terbuka bagi warga negri ini untuk masuk dan mengadu nasib di dalam nya.
Baru kali ini ada gubernur Jakarta yang demikian. Saya senang. Sebuah gagasan berani. Kenapa disebut berani? Karena memang beresiko. Dan seorang pemimpin harus berani menghadapi resiko bukan menghindari nya.
Coba jika Anies berani bersikap tegas terhadap perusuh. Bersikap tegas pada mafia di balaikota. Kepergian Ahok dan kedatangan Anies di balaikota sering menjadi pembatas antara ketegasan terhadap mafia dan kebelimtegasan yang terus tertunda untuk diakhiri.
Lumayan masih ada yang bisa dibanggakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H