Emak. Sekarang masih sehat, segar, bugar dan sedang menunggu giliran naik haji. Satu obsesi yang masih dirindukan. Semoga segera tercapai.
Emak. Siapa sih yang bisa melupakan pengorbanan nya?
Terlalu banyak untuk diceritakan. Tak akan mampu waktu untuk menceritakan segala pengorbanan ibu.
Ada dua cerita yang selalu membuatku menangis hingga kini. Karena belum bisa membalasnya.
Selepas SD, saya langsung ke pesantren. Di samping alasan belum ada SMP di daerahku, bapakku yang tamatan pesantren, menginginkan aku tahu agama untuk bekal masa depan.
Tapi saya yakin, alasan biaya menjadi alasan saya dimasukan ke pesantren. Bukan pesantren modern yang sekarang ditawarkan bahkan dengan uang pangkal yang tak masuk akal. Pesantren yang aku jejaki hanyalah pesantren kampung yang masih menggratiskan segalanya.
Makan tak beli. Untuk makan saya memasak nasi sendiri. Lauk terkadang lebih pada asal ketemu. Krupuk saja sudah berasa mewah, karena harus beli.
Setiap dua minggu sekali, diperbolehkan pulang kampung. Dan, emak tahu betul kalau dihitung pakai kalkulator paling canggih pun, uang yang diberikan bapak tak akan cukup untuk sebulan atau dua minggu saat pulang kampung berikutnya.
Tapi, emak selalu berpesan untuk mendahulukan pembayaran yang sekolah. Jangan sekali sekali terlambat membayar uang sekolah. Hal yang kemudian baru saya pahami saat saya sudah menjadi guru.
Untuk lauk, emak selalu membuatkan serundeng. Lauk yang dibuat dari parutan kelapa. Digoreng hingga rasa gurihnya mak nyusss....
Sarundeng bisa tahan dua minggu. Tapi, karena makan di pesantren selalu bareng, maka dalam seminggu, serundeng emak sudah ludes. Saya yakin emak juga senang kalau tahu saya selalu membaginya ke teman teman di pesantren yang nasibnya sebelas dua belas dengan nasib anaknya.