Biar Mampus Anjing-Anjing Syiah.
Judul di atas saya ambil dari sebuah status facebook seseorang yang tak sengaja saya buka. Saya langsung mengurut dada, mengucap istighfar berkali-kali. Kenapa kebencian sesama muslim sudah begitu mengurita dalam dada orang yang menulis status tersebut. Dalam hati saya bertanya, masih adakah nilai keberagamaan dalam sanubarinya? Bagaimana dia memahami agamanya selama ini sehingga keluar kata-kata seperti itu?
Itulah fakta yang mungkin akan sering ditemui di lapangan. Satu agama tapi beda aliran sudah saling mengkafirkan. Bahkan sepertinya bertambah nilai keberagamaan seseorang saat dirinya mencaci mai aliran lain. Sebuah sikap keberagamaan yang pasti tidak dibarengi oleh nilai keberagamaan.
Kalau satu agama saja bisa saling menghalalkan darah, apalagi yang berbeda agama. Pasti akan jauh lebih mengerikan.
Politik. Politik adalah pangkal awal dari segala pertikaian agama. Agama hanya dibawa-bawa untuk melegitimasi kepentingan politik belaka. Suni dan Syiah juga awalnya hanya kepentingan politik kekuasaan kelompok-kelompok tertentu. Seandainya kemunculan Suni dan Syiah tanpa kepentingan politik, maka tak akan ada aliran darah yang entah sudah berapa banyaknya itu.
Di negeri ini. Saat politik tak memasuki atau tak mengobrak-abrik gerbong agama, maka tak akan ada sikap-sikap picik intoleran. Politiklah yang telah membuat sikap picik para penganut agama di mana pun, termasuk di negeri ini.
Paling seru pasti Pilkada DKI. Kebetulan Ahok non-muslim. Maka muncullah propaganda-propanda SARA yang seharunya tak perlu lagi di era kini. Tapi, karena para petualang politik membutuhkannya untuk kepentingan politik dirinya, maka disusupilah agama menjadi kendaraannya. Ayat-ayat suci ditebar seakan kita semua sedang berada di jurang kehancuran seandainya Ahok memenangi pilkada DKI. Umat muslim akan teraniaya jika Ahok menang. Sebuah cara berpikir picik.
Maka fitnah pun berkeliaran di media sosial. Hingga Ketua Umum PBNU, Kyai Haji Said Agil Siraj pun bertubi-tubi diberi label berdasarkan fitnah belaka. Media sosial memang menjadi saran paling efektif. Apalagi kalau kita mencermati fenomena Jonru. Segala hal dilakukan, termasuk fitnah, hanya demi diri sendiri dan kelompoknya, dengan mengatasnamakan agama. Prilaku yang jelas menjijikkan.
Media sosial tak mungkin menjadi arena diskusi yang baik. Karena bahasa dalam media sosial sering tanpa kontrol siapa pun. Makian akan membuat orang yang selama ini kita kenal santun pun menjadi kalap. Walau memang, kita tetap harus pada tahap awal melakukan mujadalah tapi kalau memang sudah terlihat tanda-tanda penjurusan ke arah kondisi tak kondusif, maka sebaiknya kita tinggalkan media sosial sebagai arena mujadalah.
Dan untuk menjaga tolensi di media sosial, kita memang harus membentuk kelompok-kelompok berpikiran jernih untuk terus menebarkan sikap hidup toleran di negeri ini. Jangan sampai sikap tak toleran yang sekarang menguat di Timur Tengah ikut mempengaruhi kondisi negeri ini. Kita harus terus menebarkan sikap toleran tanpa henti.
Generasi muda yang memang masih mencari-cari jalan, kita beri alternatif jalan yang lebih baik. Jalan tanpa amarah. Jalan tanpa darah. Jalan yang selama ini sudah menjadi sikap hidup manusia-manusia di negeri tercinta ini. Jangan biarkan mereka termakan oleh sikap "benar sendiri" yang terus didengungkan oleh kelopmpok-kelompok picik.