[
Tak berasa. Perjalanan sudah mulai memasuki kota kecilku. Udara pagi menyisakan bau embun. Delman yang Diah tumpangi tampak agak terantuk batu yang masih juga belum rapi tertutup aspal. Selalu seperti itu. Sejak dulu. Sejak Diah kecil. Jalan di kota kecil tempat kelahirannya itu tak lama mulus. Diaspal hanya bisa mulus untuk waktu paling lama lima bulan. Selebihnya, jalan itu akan ditumbuhi batu-batu dari balik aspal yang sudah terkelupas.
"Terlalu banyak yang mengais rezeki dari jalan seperti ini," batin Diah sambil membayangkan megahnya rumah-rumah para koruptor. Bahkan ada temannya yang aktif di LSM mengatakan kalau harta para koruptor bisa jadi lebih banyak dari APBN. Gila kan?
Sepanjang jalan, masih juga ditumbuhi tebu-tebu. Waktu kecil Diah juga sering main di kebun-kebun tebu itu. Bersama teman-temanya. Makan tebu sepuasnya.
Manisnya tebu memang belum semanis kehidupan para petani yang telah merawatnya. Para petani tebu masih juga hidup dalam kondisi pas-pasan, bahkan kekurangan. Padahal manis tebunya telah membuat para penikmat teh atau kopi menjadi lebih gress. Tapi, itulah negeri ini. Lagi-lagi, rakyatnya terlalu baik untuk ditipu. Sehingga negeri yang gemah ripah ini hanya dinikmati para begujal yang menghisap keringat-keringat rakyat.
Jadi teringat buku novel Saijah dan Adinda. Buku yang mampu merekam bejadnya pemimpin negeri ini. Kita sering mengutuk penjajah Belanda hingga mulut berbusa-busa. Akan tetapi, di sisi lain, kita lupa mengutuk pemimpin negeri yang prilakunya lebih kejam dari penjajah Belanda itu sendiri. Padahal, orang seperti Saijah justru diperas oleh bupatinya sendiri yang sudah pasti kulitnya berwarna coklat. Kalau Belanda hanya menjajah di tingkat kota kabupaten, sedang penjajah yang masuk hingga kampung-kampung justru Belanda yang kulitnya coklat.
Miris!
Diah tersenyum. Ingat tetangga-tetangganya yang hidup dalam kesederhanaan kota kecil. Masihkah mereka hidup seperti itu? Banyak kabar yang mengatakan bahwa infiltrasi kultur modern juga telah merasuk, bahkan merusak hampir di seluruh pelosok negeri ini. Benarkah?
"Tebunya berbunga, Bun!" teriak Rara yang memang selama hidupnya baru kali menyaksikan hamparan kebun tebu.
"Berarti sebentar lagi panen," kata Diah.
"Ramai?" Rara penasaran.