Minggu pagi. Matahari sudah mulai tinggi. Sinarnya menebar kehangatan. Menerobos ke segala penjuru bumi. Seakan-akan menggapai-gapai. Berkehendak mengusir setiap kantuk yang masih terus menggoda para pemalas untuk tetap meringkuk di balik selimut.
“Mocsyaaa!” panggil Bunda.
Tak ada jawaban. Kamarnya sepi.
“Mocsya ke mana, Vi?” Bunda bertanya pada Kak Sevi yang sedang asyik membaca buku.
“Setahuku dia masih ada di kamar. Belum terlihat keluar-keluar. Memangnya ada apa, Bun?” Sevi balik bertanya.
“Ada deh. Mau tahu saja, seperti petugas sensus,” jawab Bunda sambil mengetuk pintu kamar Mocsya. Beberapa kali diketuk, tak juga ada jawaban. Mungkin penghuninya masih di alam lain. Alias masih mimpi ketemu bidadari. Tapi Bunda tak akan menyerah. Tangannya terus mengetuk pintu, sambil memanggil-manggil Mocsya.
“Jangan diketuk pintunya, Bunda,” kata Sevi.
“Kenapa?” tanya Bunda heran.
“Kalau hanya ketukan di pintu, Oca tidak akan bangun, Bun. Kemarin saja ada bom meledak empat kali, Oca tidak bangun. Apalagi hanya ketukan di pintu, mana mungkin Oca bangun, Bunda?!”
“Di mana ada bom meledak?” tanya Bunda dengan perasaan aneh. Tak ada berita tentang bom, baik di koran maupun di televisi. Adanya bombastis. Itu pun nama acara di sebuah stasiun televisi. Kok sampai ada bom meledak empat kali. Bunda pun menghentikan ketukan tangannya pada pintu.
“Di Irak,” jawab Kak Sevi sambil tersenyum.