Februari. Apa karena sekarang Februari? Bulan yang selalu dihiasi rinai hujan? Bahkan kadang juga ditemani badai yang mengerikan? Semalam turun hujan. Walau hujan semalam tanpa badai, tapi jelas bukan sekadar rinai. Hujan semalam lebat sekali.
Pagi ini. Menjadi begitu sepi. Betul-betul sunyi. Tanpa matahari. Tak ada burung di kebun depan rumah Ica yang bernyanyi. Padahal, biasanya burung tak pernah henti berkicau sepanjang pagi. Seakan merayakan pagi sebagai harapan. Menikmatinya sebelum pagi menghilang diganti siang.
"Belum berangkat?" tanya Bibi.
Ica hanya menggeleng.
"Kenapa?" Bibi jelas sedang menanggungkan kekhawatiran dalam nada suaranya.
Kembali Ica menggeleng. Mengisyaratkan sebuah keengganan yang memang tak mungkin lagi untuk disembunyikan. Sambil terus asik melihat rinai hujan. Rinai yang belum juga capai menyirami bumi.
"Tidak terlambat?" tanya Bibi yang terus menyimpan kekhawatiran. Sudah lama Ica terlihat hanya diam. Tanpa gerak, tanpa suara. Tatapan matanya juga seperti hampa.
"Sebentar lagi, Bi," sebuah jawaban basa-basi. Agar tak ada lagi kekhawatiran Bibi.
Pagi.
Kali ini. Seperti pagi-pagi Februari. Dingin begitu lekat menyelimuti. Menebar kemalasan dalam tiap sudut hati. Enggan menyambut ceria mentari. Mentari yang juga masih bersembunyi.
Seperti juga Ica. Seharusnya Ica menikmati pagi Februari. Tapi sayang. Sayang seribu sayang. Ica sedang duka. Ica sedang dirundung lara. Justru pada hari ulang tahun yang harusnya bahagia.