Entah kenapa, hari ini Jakarta terasa begitu panas. Panas sekali. Seperti di neraka saja. Matahari seakan tepat ada di atas ubun-ubun. Panasnya tak kepalang tanggung. Seakan sedang menantang kemampuan manusia untuk menahan gejolaknya.
Tapi semua itu tak seberapa. Belum. Belum seberapa. Panas Jakarta yang begitu mengganas ternyata tak seberapa. Jika dibandingkan dengan panas hati Rizkia. Hati Rizkia lebih panas. Hari ini memang menjadi hari yang tak mengenakkan. Buat Rizkia, tentunya. Karena hari ini ada undangan. Undangan pengambilan rapor tengah semester. Sebuah teror. Pasti Kia akan kena lagi deh. Sebel.
"Ada apa, Kia?" tanya Mamanya.
Tak ada jawaban. Hanya suara kedubrak pintu yang ditutup dengan beban emosi. Mamanya pun balik ke tempat Rizki.
"Ada apa, Ki?"
"Undangan pengambilan rapor bayangan, Ma,"Jawab Rizki sambil langsung mencium pipi mamanya.
Setiap. Ya, setiap kali ada sesuatu yang berhubungan dengan rapor pasti akan meremukkan hati Rizkia. Selalu ada perasaan menjadi orang kalah. Kalah dari Rizki. Saudara kembarnya itu.
"Ih, mirip banget," kata-kata itu selalu meneror Rizkia. Walau pun orang yang melontarkan kata-kata itu justru mengungkapkan rasa kagum pada dua manusia cantik-cantik di depannya.
Rizki dan Rizkia memang cantik. Semua orang mengakui itu. Dan semua orang yang menjumpai mereka berdua pasti mengagumi kecantikan itu. Bahkan pernah ada yang kejebur got, gara-gara matanya tak mau lepas memelototi Rizki dan Rizkia.
Bukan hanya wajah mereka yang mirip. Tapi dari sejak lahir, Rizki dan Rizkia selalu dijadikan orang yang sama. Betul-betul sama. Saat satu memakai baju merah, pasti yang satunya juga harus memakai baju merah pula. Saat yang satu memakai baju kuning, maka yang satunya lagi juga harus memakai baju kuning. Bahkan pita di rambut pun selalu bermodel dan warna yang harus sama.
Tak akan ada yang bisa membedakan, mana Rizki dan mana Rizkia. Bahkan mamanya sendiri lebih sering bingung sendiri untuk membedakan kedua anak kembarnya itu.