Lihat ke Halaman Asli

Mochamad Syafei

TERVERIFIKASI

Menerobos Masa Depan

[Kartini RTC] Ibu, Hujan, Dan Kenangan

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber gambar. rumpies the club

Hujan masih terus mengguyur kotaku.  Bulan April ini seharusnya sudah tak ada hujan selebat ini.  Tapi entah kenapa, seminggu ini hujan di kotaku seperti tak mau mengikuti kelaziman.  Seenak-enaknya saja turun.

“Masuk, Bu.  Hujannya semakin deras,” kataku melihat ibu yang seperti sedang asyik menikmati hujan.

“Iya.  Nanti sebentar lagi,” jawab Ibu.

Aku tahu, ibu pasti sedang merindukan Bapak.  Bagi Ibu, Bapak adalah separuh hidupnya.  Sehingga, kematian bapak seperti  melumpuhkan separuh hati Ibu.   Baru dua bulan yang lalu Bapak meninggalkan Ibu.  Sendiri.  Karena, setelah anak-anaknya besar, tak ada satu pun yang hidup di kampung.  Semua pergi meninggalkan kampung.

Ibu tak mau saat diajak Kak Rahmi ke Bandung.  Juga menolak saat Mas Gofar mengajaknya ke Malang.  Apalagi untuk ikut Mas Fadli yang kini tinggal di seberang.

Tapi, Ibu mau ikut ke rumah mungilku di sebuah kota kecil tempat aku mengabdi sebagai seorang guru.  Karena aku memang belum bersuami.  Kata Ibu, Ibu ingin menemaniku hingga aku ada yang menemani.

Inilah persoalannya.  Pada saat yang sama, aku sudah memutuskan untuk hidup sendiri.  Tak ada salahnya kan seorang perempuan hidup sendiri?  Tapi, tidak bagi Ibu.  Ibu tak mau anak bungsunya hidup sendiri.  Dan misi ini yang membuat Ibu mau bersusah payah ikut ke rumahku dan menolak semua ajakan kakak-kakakku.

“Vi, kamu tahu, nggak?” tanya Ibu.

“Tentang apa, Bu?” aku balik bertanya.

“Hujan.”

“Kenapa dengan hujan, Bu?”

“Bunyi hujan saat mengetuk-ngetuk atap rumahmu seperti sebuah musik yang melantunkan kenangan Ibu pada Bapakmu,” kata Ibu.

“Ibu kangen bapak?” tanyaku.

“Dia laki-laki yang terbaik yang pernah Ibu temukan,” kata Ibu sambil matanya terus menatap rintik hujan yang sudah tak llebat lagi.

“Apa ada laki-laki sebaik Bapak?” tanyaku menggoda.

“Pasti.  Pasti ada.  Dan kau harus menemukannya,” kata Ibu bersemangat.

Aku memang pernah jatuh cinta.  Tapi, laki-laki itu mengkhianati cinta sepenuh hatiku.  Sehingga luka itu masih terasa hingga kini.  Hingga aku kemudian memutuskan untuk selalu sendiri.  Dan Ibu tak menginginkan itu.

“Haruskah setiap perempuan itu menikah, Bu?” tanyaku.

Ibu diam.  Lalu matanya kembali lagi menekuni rintik hujan.

“Bu, haruskah Sevi menikah, Bu.  Walau menikah hanya akan menjadi beban bagi diri Sevi?” tanyaku lagi.

“Kalau pernikahan hanya akan menjadi neraka bagimu, kau boleh tak menikah.  Aku juga setuju.  Tapi, kalau kamu hidup sendiri, kamu akan kesepian dalam waktu yang panjang, Vi.  Kau harus memikirkannya baik-baik.”

“Aku sudah memutuskannya, Bu.  Dan aku akan menghadapi semua resiko apa pun,” kataku dengan air mata yang terurai karena takut kalau keputusanku ini akan menyakiti hati ibu.

Ibu memelukku.  Erat, erat sekali.

“Ibu mendukung semua keputusanmu, Nak.  Kau sudah berhak untuk menentukan segala tentang hidupmu,” kata Ibu.

Aku bahagia mendengar kata-kata ibu.  Sekarang aku semakin yakin kalau hidup Ibu memang hanya diperuntukkan bagi kami anak-anaknya.  Keputusanku untuk hidup sendiri pasti akan dicibirkan oleh tetangga-tetangga di kampung Ibu.  Tapi, aku yakin Ibu akan menghadapinya dengan hati yang setegar tembok Cina.

Terima kasih Ibu.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline