Istilah "kritik membangun" sangat populer pada zaman eyang Soeharto. Dan beliaulah yang mempopulerkan istilah tersebut. Sehingga semua pejabat dari menteri sampai lurah, bahkan RT selalu memantrakan istilah tersebut setiap kali ada pertemuan dengan masyarakat. Dan mantra tersebut memang sangat fantastik dalam meredam setiap kritik.
Pertanyaannya, adakah kritik yang membangun?
Dalam pengertiannya saja sudah muter balik. Kritik ada sebuah kerja kritis untuk melihat sebuah persoalan secara jeli. Bukan hanya kebaikannya tapi juga kejelekannya. Bukan hanya pada saat ini, tapi juga jauh melampaui waktu kini. Sehingga kritik lebih menjadi jembatan untuk menuju penyelesaian persoalan. Dan sikap krtis dari kritik jelas akan menyoroti persoalan dengan tajam sehingga akan terdengar "memerahkan telinga". Apalagi bagi "badut-badut"orde baru yang telinganya sudah disetel hanya untuk apa pun asal menyenangkan.
Sedangkan "membangun" lebih dekat dengan sesuatu yang positif. Sesuatu yang membanggakan. Sesuatu yang menyenangkan. Sehingga, "kritik membangun" hanyalah sebuah strategi para punggawa rezim otoriter untuk memberangus sikap kritis. Karena tak mungkin ada kritik yang membangun. Tentunya , jika diartikan dengan cara para ordebaruwan menerjemahkannya sebagai kritik yang menyenangkan bagi orang yang dikritik alias mereka sendiri yang sedang memegang tampuk kekuasaan.
Sebuah kritik pasti tidak membangun. Kritik pasti akan menjatuhkan. Akan tampak kebobrokan yang memang lebih sering sudah tampak begitu lebar di depan mata tapi sengaja dilindungi dengan kekuatan pucuk-pucuk senapan para penjaga rezim. Kritik adalah sebuah upaya untuk menyeimbangkan penglihatan rabun penguasa pada saat itu.
Lalu, kalau kritik itu menjatuhkan, apa guna sebuah kritik?
Saya teringat selalu kata-kata bijak seorang ilmuwan hebat negeri ini yang sampai saat ini saya kagumi. Beliaulah yang ikut mengubah pemikiran saya tentang "kritik membangun"ala orde baru ini. Saya yang lehir dan dibesarkan dalam lingkup rezim orde baru tak bisa melepas diri dari kungkungan ajaran "kritik membangun"ala orde baru ini. Sehingga saya pun selalu merasa jengah saat ada teman atau sahabat yang mengkritik pejabat dengan keras. Saya ikut merasa bahwa teman atau sahabat saya itu tak bisa memahami bahwa kritik harus membangun. Kritik destruktif harus disingkirkan. Dan pemahaman saya tentang kritik destruktif sebagai antonim dari kritik membangun pun sudah sangat terpengaruh oleh pola pikir orde baru bahwa kritik keras adalah destruktif.
Beliau tersebut adalah Bapak Daniel Dakhidae. Dia yang menyadarkan saya akan kesalahan pemahaman akan konsep "kritik membangun". Ini disampaikan dalam sebuah seminar yang sempat saya ikuti tapi lupa di mana tempatnya. Waktunya sekitar tahun 1994. Ketika saya masih duduk di semeter akhir di sebuah perguruan tinggi di ibukota ini.
"Kritik membangun" tak pernah ada. Karena kritik memang tak mungkin dengan bumbu pujian. Kritik dengan pujian akan menjadi bukan kritik. Kritik harus tajam menghujam. Menguliti apa yang tersurat dan menohok yang tersirat. Menjelujur hingga ke jantung persoalan.
Masih menurut beliau, seharusnya bangsa ini butuh "membangun dengan krtik" bukan dengan "kritik yang membangun" sebagaimana selama itu dilakukan. Apa bedanya?
Dalam "membangun dengan kritik" sangat mengandaikan akan keaktifan orang yang dikritik. Orang yang dikritik, baik secara personal maupun dalam kerangka jabatan yang disandangnya, bukanlah objek yang pasif dan harus mempertahankan diri. Orang yang dikritik diposisikan menjadi subjek yang siap memperbaiki diri dengan kritik apa pun yang siap diterima sebagai konsekuensi sebagai sebuah jabatan publik. Sehingga setiap kritik diterima dengan lapang dada dan untuk selanjutnya memperbaiki apa pun yang dilakukannya pada saat itu.