Lihat ke Halaman Asli

Mochamad Syafei

TERVERIFIKASI

Menerobos Masa Depan

Dua Jembatan Menuju Masa Depan Citarum

Diperbarui: 26 Juni 2015   06:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Kalau saya katakan, luruskan kali Citarum biar aliran tak tersendat, itu sih saran instan.  Bahkan mungkin tak perlu saya memberi saran itu.  Atau "Angkat sampah di sungai Citarum, biar tak menumpuk dan kali pun jadi bersih!", ini pun tak kalah instannya.  Apalagi kalau saya mengatakan, "bangun pinggiran kali, bingkin tanggul, cor jalan atau jogging trek", maka ini sangat instan sekali.

Masyarakat Indonesia memang gemar membangun, maka tak heran jika banyak usul untuk perbaikan Citarum dilakukan dengan cara instan membangunnya.  Seakan-akan dengan membangun pinggiran sungai Citarum maka persoalan sungai Citarum akan dapat diselesaikan.  Ini jelas cara berpikir yang salah.

Di sisi lain, masyarakat Indonesia sangat enggan merawat.  Begitu banyak jalan yang langsung rusak sebulan setelah dibangun.  Kenapa?  karena tak dirawat.  Truk yang muatannya dua atau bahkan tiga kali daya tahan struktur jalan terus saja melaju dengan aman asal si sopir mau membayar di jembatan timbangan.  Ini baru masalah jalan yang dapat dilihat kasat mata dan semua orang membutuhkannya.  Bagaimana dengan sesuatu yang seakan ada di jalan sunyi, misalnya, perpustakaan.  Betapa banyak perpustakaan merana hingga rayap berebut buku-buku berharganya.  Tak ada perpustakaan yang dirawat dengan baik setelah dibangun dengan megah sekali pun.   Belum lagi tentang Candi yang terbengkalai begitu saja.

Maka dengan demikian, saya pun tak menyarankan sesuatu yang instan.  Walaupun ini tentu tak sesuai dengan jiwa sebagian besar bangsa ini yang selalu bersikap instan.  membangun dan sekaligus mengabaikan.  Saya menyarankan dua jembatan menuju masa depan Citarum.

Jembatan pertama,  bangunlah kesadaran masyarakat yang berhubungan langsung atau yang tidak langsung dengan Citarum.  Kesadaran inlah yang penting untuk masa depan Citarum.  Tanpa kesadaran segalanya menjadi percuma.  Contoh, kesadaran yang konkret tentunya kesadaran yang ada pada diri Pak Agus Permana.  Seorang yang pada awalnya menjadi biang penebangan liar di ujung Citarum berubah seratus delapan puluh persen menjadi pelestari.  (boleh dilihat pada liputan Kompas mengenai Pak Agus ini).

Kesadaran ini dapat dilakukan melalui media sekolah atau pendidikan.  Banyak yang tak mau melirik dunia pendidikan, karena tak akan menghasilkan sesuatu yang instan.  Pendidikan memang baru akan dinikmati hasilnya setelah berpuluh tahun kemudian.  Generasi sekarang yang masih SD atau SMP yang akan berkesadaran akan kemanfaatan Citarum bagi kehidupannya, kelak.  Tapi dengan pendidikanlah akan muncul Agus-Agus baru dengan kesadaran yang tinggi atau bahkan lebih tinggi.

Dinas pendidikan di daerah sekitar Citarum sudah seharusnya membawa peserta didiknya terjun langsung melihat dan merasakan Citarum bukan berkoar-koar di kelas tentang Citarum.  Ajak peserta didik untuk menyelami nasib Citarum jika prilaku warganya masih seperti sekarang ini.  Maka akan muncul kesadaran baru.  Anak-anak SD dan SMP akan merekam begitu dalam apa yang dididikkan para gurunya di sekolah.

Melalui Cerita atau dongeng juga bisa.  Adakan lomba penulisan dongeng tentang sungai atau Citarum.  Maka akan muncul dongeng-dongeng atau cerita-cerita canggih yang akan menyadarkan generasi baru.  Buku adalah jendela yang mempu mengantarkan anak menuju kesadaran.  Maka tak salah kalau firman Tuhan yang pertama turun pada Muhammad adalah perintah membaca.  Karena membaca akan mengubah pola pikir dan laku seseorang.

Apakah masyarakat saat ini belum berkesadaran?

Tidak semuanya tak berkesadaran.  Ada yang sudah memiliki kesadaran, bahkan mungkin sangat tinggi.  Tapi diperlukan jembatan kedua untuk membangun masa depan Citarum.  Harus!

Jembatan kedua, praktik hukum lingkungan yang dilaksanakan dengan baik, atau hukum di Indonesia secara keseluruhan.  Tanpa ini, Citarum akan seperti sekarang.  Lihat saja gambar di liputan Kompas tentang pencemaran oleh Pabrik Tekstil dengan pewarnanya yang jelas-jelas terekam di foto itu.  Apakah hanya wartawan Kompas yang tahu tentang pelanggaran hukum lingkungan tersebut?  Tidak!  Masyarakat sekitar pabrik tekstil tersebut juga sadar akan pencemaran oleh pabrik.  Seharusnya dia melapor akan adanya pelanggran hukum tersebut.  Mengapa diam?  Karena penegakan hukumnya tak jelas.  Bisa-bisa si pelapor justru akan menjadi terpidana gara-gara dia melaporkan pelanggran hukum tersebut.  Apalagi kalau si empunya pabrik memiliki "backing" orang kuat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline