Menonton mata Najwa semalam betul-betul membuat saya bingung. Ternyata, seorang Boediono adalah orang yang betul-betul memiliki kesalehan Individual. Menurut sekretaris pribadinya, semua uang betul-betul dipisahkan antara milik pribadi dengan milik negara. Kalau singlet untuk pribadi maka Boediono membayar dengan uang sendiri dan tak mau kalau dibayar dengan uang negara. Termasuk saat berhaji (atau berumrah, saya lupa). Yang dibayar uang sendiri.
Bahkan cerita, menteri keuangan, cerita Marie Pangestu, cerita Abdillah Toha, semuanya menceritakan kesederhanaan Boediono. Dari celana bolong, baju batik seragam hotel, sepatu jebol, dan masih banyak lagi.
Kenapa muncul nama Boediono dalam Century?
Banyak orang yang sering menyumbang masjid, menyumbang gereja, menyumbang yayasan yatim piatu, menyumbang sana-sini, tapi di sisi lain, ternyata juga seorang koruptor kakap. Seakan-akan ada dinding tebal yang memisahkan antara kesalehan individual dengan kemauan untuk menyumbang. Bukan hanya menyumbang tapi juga rajin ke masjid atau gereja, namun juga koruptor yang tak berhati nurani.
Banyak yang seperti ini. Kesalehan individual tak tercermin dan tak nyambung dengan kesalehan sosial. Bahkan bertolak belakang.
Padahal, harusnya ada kemenyambungan antara kesalehan individual dengan kesalehan sosial. Orang yang rajin ke masjid atau ke gereja, maka ia akan jauh dari korupsi dan teman-temannya. Tapi, yang seharusnya tak selalu ada dalam kenyataan.
Apakah pak Boediono memiliki kesalehan indidual sekaligus kesalehan sosial? Kita tunggu KPK. Semoga kesalehan individual Pak Boedioni juga dibarengi kesalehan sosial. Century hanya permainan orang jahat di luar dirinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H