Lihat ke Halaman Asli

Mochamad Syafei

TERVERIFIKASI

Menerobos Masa Depan

Manusia-manusia Tanpa Kepala

Diperbarui: 17 Juni 2015   12:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku mendengar dongeng tentang manusia-manusia tanpa kepala ini dari nenekku.  Waktu aku masih kecil.  Waktu aku hendak tidur.  Nenek selalu menemani sambil menyajikan aneka dongeng yang sampai sekarang masih terekam jelas dalam batok kepalaku.

"Nanti akan ada manusia-manusia tanpa kepala," kata nenek.

"Siapa mereka, Nek?" tanyaku penasaran.

Orang-orang tanpa kepala, kata nenek, adalah orang-orang pandai.  Mereka sekolah hingga jenjang paling tinggi.  Dan tak ada yang lebih tinggi lagi.  Tapi, saking tinggi sekolah, mereka sampai lupa di mana harus meletakkan kepala.  Hingga akhirnya mereka tak bisa menemukan kepalanya sendiri.

"Bagaimana mereka bicara, Nek?" tanya adikku yang ikut bingung mendengar cerita nenek yang satu ini.

"Mereka bicara seperti suara lebah.  Tak jelas.  Suara-suaranya seperti hentakan dari rasa yang dipendamnya selama ini.  Mulai rasa marah yang sudah sedemikian membuncah.  Rasa dendam yang tak mungkin lagi padam.  Rasa sakit hati yang jeritannya seperti lengkingan paliing nyaring dan memekakkan," jelas nenek yang sudah pasti membuat kami semakin tak mengerti.

Lalu, pagi ini kami menonton televisi.  Bersama anak yang masih balita.  Sebuah berita muncul di televisi.  Seorang angggota DPR sedang diwawancara.  Suaranya tak jelas.  Yang menguar dari mulutnya hanya semisal gerendengan.  Lalu tiba-tiba berubah menjadi semisal raungan.  Ya, dia seperti sedang mengungkap segala kemarahan, sakit hati, dan dendam.

Lalu anakku tiba-tiba berteriak, "Ayah, kepala orang itu ilang.  Dia tak punya kepala lagi."

Dan sejak saat itu, setiap melihat ada anggota DPR diwawancara, selalu saja mereka tampil tanpa kepala.  Dan omongannya sellau berupa gerendnegan dari rasa marah, dendam, sakit hati yang sedang mereka derita.

Oh, ternyata ini relevansi cerita nenek dulu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline