Lihat ke Halaman Asli

MOCHAMAD ROZIKIN

Senior Staff Human Resources and General Affair

Surat Sendu

Diperbarui: 29 Oktober 2023   18:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kyoto. Kamis, 28 Desember 2000.

Assalamualaikum semuanya. Maaf, setelah sekian lama baru kutulis kabar dari tanah rantau yang jaraknya kurang lebih lima ribu kilometer dari rumah. Bukan karena aku sibuk atau tak sempat. Tapi sengaja agar suratku berlembar-lembar dan kalian tak bisa selesai membaca dalam waktu singkat. Mungkin butuh beberapa kali waktu sore menunggu mangrib, di saat semuanya luang. Atau harus menunggu hari Jumat saat semua berkumpul di rumah.

Entah nama siapa yang harus kutulis di amplop surat, aku tak ingin hanya menyebut satu nama saja di antara kalian, tentu saja karena aku menyayangi kalian dengan porsi yang sama. Tidak, ibu lebih banyak, jadi kutulis kepada--Ibu Nur--saja. Yang pasti, rasanya rindu meradang hingga tak kuat lagi aku merasakan sakitnya. Kalian pernah lihat orang-orang memanggul karung di pasar? Seperti itu aku berjalan setiap hari. Namun bukan beras atau tepung jagung yang kubawa di pundak, tapi rindu. Rindu pada kalian semua tentu saja.

Sebelum aku menceritakan bagaimana rasanya menjadi anak rantau di negeri matahari terbit ini, aku ingin sekali tahu bagaimana kabar kalian? Bagaimana kabar Ibu tanpa anak kesayangannya? Bagaimana kabar Bapak tanpa anak yang katanya akan menjadi penerus keluarga? Bagaimana kabar Mbak Alya tanpa musuh perangnya di rumah, atau tanpa teman bersekongkol pulang sore setelah pulang sekolah dengan alasan mengerjakan tugas kelompok padahal pergi ke pasar tiban untuk menghabiskan uang saku? Ah... Aku benar-benar rindu. 

Aku rindu menemani Ibu merawat tanaman sebelum aku berangkat sekolah. Di pagi hari yang sejuk ditemani nyanyian khas burung perkutut milik Bapak yang di jemur di bawah matahari yang baru saja terbit. Di dapur, biasanya Mbak Alya membuat nasi goreng ala dia yang menjadi favorit keluarga meskipun lebih sering keasinan. Tak hanya itu, aku juga telah rindu pada setiap sudut di rumah kita. Setiap isi rumah yang menjadi bagian hidupku dari kecil menuju remaja.

Sekarang, biar kutebak. Kalian juga merindukanku, bukan? Apa kalian sering membicarakanku? Pasti sangat menyenangkan, duduk di teras rumah ditemani ubi rebus dan kolak pisang yang dibuat sendiri oleh Ibu. Dan pasti aku yang selalu menjadi topik pembicaraan kalian, kan? Aku sudah tahu itu. Seperti ketika Mbak Alya pergi berkemah saat dia duduk di kelas dua sekolah menengah, Ibu dan Bapak mengkhawatirkan dan tak henti-hentinya membicarakan Mbak Alya seakan dia sedang pergi berperang di tanah konfik. Kalian sangat takut ketika anak-anak jauh dari kalian, kan? Tapi jangan khawatir padaku, Pak, Bu. Walaupun aku pergi lebih jauh dari Mbak Alya, aku sudah lebih besar dan dewasa. Dan juga, aku anak laki-laki yang suatu saat nanti akan mengangkat derajat keluarga kita.

Di sini, aku bisa hidup dengan baik meski hari-hariku semakin berat. Tentu saja karena membawa rindu yang tak pernah menyurut dan hanya semakin menggunung. Langkah-langkah yang kujalani setiap saat adalah langkah menuju pada mimpi Ibu yang menginginkan aku menjadi seorang sukses dalam hal pendidikan, pada mimpi ayah yang menginginkanku menjadi seorang yang hebat dalam bidang yang kusukai. Dan tentu saja aku juga ingin membuat Mbak Alya bangga karena memiliki adik sepertiku--yang tentu saja lebih cerdas dari kakaknya.

Awalnya, aku hanya makan sesuap dua suap karena tidak cocok dengan makanan di sini. Tak ada urap nangka atau terong bakar buatan Ibu, atau paling tidak Indomie goreng. Semua makanan hanya dibumbui dengan kecap asin. Jika kalian di sini, aku yakin pasti kalian ingin segera pulang karena tak ada cabai dan bawang juga di sini. Bagaimana bisa Ibu makan tanpa cabai? Iya kan?

Tapi perlahan setelah melewati bulan pertamaku. Setiap makan, seolah aku sedang makan masakan Ibu yang aku pikir belum ada duanya di dunia ini. Aku belanja bahan makanan dan memasak sendiri di apartemen. Tentu saja karena aku sering memperhatikan ibu memasak dan belajar dengan giat. Kebetulan temanku tak bisa memasak, kami telah sepakat bahwa aku yang akan memasak untuknya dan dia mengeluarkan uang untuk belanja. Dia juga mengatakan masakanku mirip yang pernah dia beli di warung Sunda di dekat rumahnya.

Namanya Teguh, dia orang asli Bandung. Orang tuanya guru sekolah menengah. Aku bertemu dengannya di Stasiun Kansai setelah beberapa jam kami tiba di bandara. Kaca matanya tebal dengan rambut belah pinggir sangat rapi dibanding denganku si kribo kesayangan Ibu. Gaya berpakaiannya juga mengikuti tren, dengan kaos berkerah dimasukan ke dalam celana jins merk terkenal. Sepatunya tak kalah membuat kasta berpakaiannya beberapa tingkat di atas aku. Pokoknya, kesan pertamaku pada Teguh sangatlah berkelas. Jika kami berdiri bersanding, mungkin saja orang akan menyangka bahwa aku adalah seorang pesuruh atau orang lain yang tidak saling mengenal bahkan. Begitulah kami berbeda.

Kami dijemput oleh seorang staff dari tempat kami kuliah lalu dibawa dari Kansai menuju Kyoto setelah dua puluh menit menunggu. Sepanjang perjalanan, dia bercerita banyak tentang tempat-tempat indah yang ada di Kyoto dan banyak hal tentang perkuliahan di Jepang yang seakan sangat menyenangkan agar kami betah tinggal di sini. Itu karena beberapa tahun terakhir banyak mahasiswa dari Indonesia yang memilih kabur dan bekerja secara ilegal. Dia juga menawarkan pada kami untuk tinggal bersama. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline