Hanya dalam hitungan beberapa jam lagi, bangsa Indonesia akan menyelenggarakan pesta demokrasi terbesar lima tahunan pada 9 April 2014, besok. Pemilu 2014 adalah pemilu keempat di era Reformasi.
Berbeda dengan era Orde Baru yang hanya diikuti oleh tiga kontestan, pemilu pada era Reformasi diikuti oleh puluhan partai politik. Pemilu 1999 diikuti 48 parpol, Pemilu 2004 diikuti 24 parpol, Pemilu 2009 diikuti 38 parpol, dan Pemilu 2014 akan diikuti oleh 12 parpol. Kebebasan berpolitik yang terbuka di era Reformasi telah memungkinkan lahirnya puluhan parpol baru di tanah air dengan beragam latar belakang ideologinya masing-masing.
Di dalam sistem multipartai ini, tidak ada parpol yang menjadi mayoritas mutlak dengan perolehan suara di atas 50% seperti yang selalu diraih Golkar di zaman Orde Baru. Sistem multipartai saat ini membuat jumlah suara terdistribusi sedemikian rupa ke banyak parpol. Dari pengalaman tiga kali pemilu di era Reformasi, perolehan suara parpol pemenang pemilu bahkan tidak ada yang melebihi 35% dan parpolnya pun berganti-ganti. Ini menunjukkan tidak adanya kekuatan dominan dalam perpolitikan kita, kendati setiap parpol memiliki basis massa tradisionalnya masing-masing.
Pada 1999, PDIP selaku pemenang meraih 33,74% suara (153 kursi). Selanjutnya, pada 2004, Golkar tampil sebagai pemenang dengan raihan 21,58% suara (128 kursi). Terakhir pada 2009, Demokrat muncul menjadi pemenang baru dengan perolehan 20,85% suara (150 kursi). Hasil di atas menunjukkan perolehan suara parpol pemenang pertama pemilu cenderung terus menurun atau mengecil dari waktu ke waktu dari 33,74% (1999), 21,58% (2004) menjadi 20,85% (2009). Akankah Pemilu 2014 menghasilkan parpol pemenang dengan capaian suara yang semakin menurun lagi ataukah justru akan ada sebuah kejutan? Tentu para pemilih lah nanti yang akan menjadi penentunya.
Pemilu sebagai mekanisme evaluasi
Dalam tradisi demokrasi, pemilu sejatinya merupakan ajang untuk ‘mengadili’ dan ‘mengapresiasi’ parpol. Parpol yang terbukti atau dianggap gagal dan tidak kompeten dalam mengemban kepercayaan rakyat yang telah diberikan pada pemilu sebelumnya akan mendapatkan ‘hukuman’ berupa berkurangnya raihan suaranya. Sebaliknya, parpol yang dianggap berhasil atau cukup kompeten dalam mengemban amanah rakyat cenderung mendapatkan peningkatan suara.
Tabel 1. Perolehan suara parpol peserta Pemilu 1999, 2004 dan 2009
Berkaca pada tiga kali pemilu di Orde Reformasi, persentase suara 5 parpol yaitu PDIP, Golkar, PPP, PKB, dan PAN cenderung mengalami penurunan secara sistematis. Suara PDIP sebagai pemenang Pemilu 1999 yang semula mencapai 33,74% justru terjun bebas menjadi 18,53% pada 2004 dan terus menurun ke angka 14,03% pada 2009. Demikian pula dengan suara parpol-parpol Islam seperti PKB yang semula 12,61%, turun ke angka 10,97% dan terakhir hanya 4,94%.
Hanya 2 parpol, yaitu PKS dan Demokrat yang secara konsisten mengalami kenaikan dalam 2 pemilu terakhir. Kepercayaan dan harapan rakyat terhadap kedua parpol ini terlihat terus membesar. Namun, banyaknya kasus korupsi yang mendera kader-kader Demokrat belakangan ini diperkirakan bakal menggerus suara parpol besutan SBY tersebut. Lebih-lebih lagi, pemerintahan SBY yang pada awalnya mendapat kepercayaan sangat besar ternyata menunjukkan kinerja yang semakin tidak memuaskan hingga saat ini. Di sisi lain, PKS tampak sebagai parpol yang memiliki integritas dan kinerja yang semakin positif dari waktu ke waktu.
Golput dan Money Politics
Berdasarkan data KPU, jumlah pemilih pada Pemilu 2014 adalah 186.569.233 orang. Di tangan merekalah pemenang pemilu akan ditentukan. Para pemilih adalah pemilik kedaulatan negeri ini, sementara parpol hanyalah sekadar penyalur aspirasi mereka.