Oleh: Moch. Aly Taufiq
(Kandidat Doktor Universitas Negeri Jakarta/ alumni Emerging Leaders Academy International Republican Institute)
Demokrasi dan kesejahteraan merupakan dua konsep yang hingga kini belum selesai untuk diperdebatkan, terkait korelasi dan kausalitas di antara keduanya. Yang menjadi pokok persoalan, benarkah demokrasi mempengaruhi atau menyebabkan terwujudnya kesejahteraan, atau justru sebaliknya?
Pertanyaan selanjutnya yang muncul adalah apakah demokrasi menjadi satu-satunya variabel yang dapat mewujudkan kesejahteraan? Jika benar, demokrasi yang seperti apa? Diskursus dan kontestasi pemikiran sedemikian pada hakikatnya penting untuk dikaji, baik di ruang-ruang akademik, maupun di bilik-bilik perumusan kebijakan di level eksekutif dan parlemen.
Setidaknya ada beberapa faktor penting mengapa diskursus sedemikian perlu dihidupkan kembali. Pertama, upaya untuk menjaga spirit reformasi dan khitah demokrasi. Kedua, faktor yang sifatnya teknis, yakni untuk menciptakan kebijakan prevensi yang kuat agar pesta demokrasi yang dihelat tahun ini dalam bentuk Pilkada di 270 daerah dapat berjalan dengan lancar serta bermanfaat secara esensial bagi rakyat. Mandat reformasi secara umum adalah menciptakan sistem politik dan pemerintahan yang memungkinkan partisipasi yang sebesar-besarnya bagi rakyat. Hal ini secara prosedural sejatinya telah dipenuhi melalui berbagai demokratisasi kebijakan oleh pemerintah pasca orde baru. Pemberian otonomi daerah dan pelaksanaan Pemilu secara langsung, merupakan realisasi konkret atas mandat tersebut.
Hanya saja yang belum sepenuhnya dimafhumi adalah bahwa demokratisasi kebijakan tersebut hanyalah variabel antara, bukan tujuan yang sebenarnya. Otonomi daerah misalnya, haruslah memiliki signifikansi terhadap kesejahteraan rakyat (people prosperity) secara langsung. Pemilu langsung yang memberikan kewenangan bagi rakyat untuk memilih kandidat secara langsung seharusnya mampu mewujudkan kemakmuran bagi rakyat itu sendiri.
Namun demikian, realitas yang dijumpai hari ini belum benar-benar sesuai harapan. Terjadi semacam 'sumbatan' yang berlokus pada variabel antara tersebut. Sebagai konsekuensinya, kita harus melihat ulang model demokrasi yang sudah berjalan, apakah sesuai dengan khitah demokrasi Indonesia, atau terjadi penyimpangan dalam bentuk mobokrasi hingga plutokrasi. Jika benar terjadi penyimpangan, maka proses identifikasi masalah dan tuntutan untuk memformat ulang demokrasi yang dijalankan bukan suatu hal yang berlebihan untuk dilakukan.
Pelaksanaan Pilkada di 270 daerah di seluruh Indonesia pada September nanti bisa dikatakan sebagai batu uji pertama bagaimana kita memaknai momen tersebut sebagai pesta demokrasi atau sekedar selebrasi demokrasi belaka.
Tentunya harapan yang membuncah di dada rakyat adalah terpilihnya kandidat yang benar-benar mampu menjadi pendengar yang baik atas aspirasi mereka, serta menghadirkan kesejahteraan dan kemakmuran yang mereka idam-idamkan. Untuk merealisasikan ekspektasi tersebut, dibutuhkan tanggung jawab dan kesadaran moral dari segenap pemangku kepentingan dalam berdemokrasi. Kapasitas, kapabilitas, serta integritas para pemangku kepentingan inilah yang lebih lanjut akan menentukan bobot demokrasi terhadap variabel antara yang akan dijalankan.
Menambah bobot demokrasi
Secara umum kita semua sepakat bahwa ada korelasi (baca: keterkaitan), sekaligus kausalitas (baca: sebab-akibat) antara demokrasi dan kesejahteraan. Dengan berpijak pada pemahaman tersebut, maka langkah selanjutnya yang harus dilakukan adalah memperkuat bobot demokrasi itu sendiri. Penguatan bobot demokrasi juga diharapkan mampu memecah 'sumbatan' dalam mewujudkan kesejahteraan.