(Study Kasus Pada Pemilu Legislatif 2014 di Bojonegoro)
Oleh : Moch. Aly Taufiq, M.Si.
PENDAHULUAN
Sejak reformasi bergulir enam belas tahun silam, bangsa Indonesia terus berupaya menjaga stabilitas politik, salah satunya dengan mengadopsi sistem politik demokrasi. Meski diakui bukan sistem yang terbaik, demokrasi merupakan sistem yang paling cocok untuk diterapkan dalam negara modern dengan wilayah luas dan penduduk besar. Demokrasi juga diyakini sebagai sistem yang mampu menjaga keberagaman bangsa Indonesia.
Salah satu hal terpenting dalam proses demokrasi adalah proses transisi kepemimpinan, mulai dari kepala desa, bupati/walikota, gubernur, anggota legislatif, hingga presiden.
Dalam kurun waktu lima tahun, masyarakat Indonesia setidaknya melewati empat sampai lima kali pemilihan, yaitu pemilihan kepala desa, bupati/walikota, gubernur, anggota legislatif (DPRD II, DPRD I, DPR RI, dan DPD RI), dan presiden. Berarti selama lima tahun kita melaksanakan 501 kali pemilihan bupati/walikota, 34 kali pemilihan gubernur, dan satu kali pemilihan anggota legislatif dan presiden.
Pada setiap pelaksanaan pemilu negara harus “merogoh koceknya” dengan jumlah yang besar. Misalnya, pelaksanaan pemilihan bupati Tangerang menghabiskan dana Rp60 miliar (Joniansyah, 2012), pemilihan gubernur Jawa Timur Rp800 miliar (Jajeli, 2013), dan pilgub Jawa Tengah Rp746 miliar (Purniawan, 2012). Adapun pada Pemilu 2014 Kementerian Keuangan menganggarkan dana sebesar Rp16 triliun (Satyagraha, 2013).
Pemilihan bupati/walikota setidaknya rata-rata menghabiskan dana sebesar Rp25 miliar dan pemilihan gubernur Rp 500 miliar. Jika dana Rp 25 miliar itu dikalikan 505 kabupaten/kota dan Rp 500 miliar dikalikan 34 provinsi (Kemendagri, 2013), kemudian ditambah biaya Pemilu 2014 sebesar Rp16 triliun, maka dalam jangka waktu lima tahun rakyat harus membiayai pesta demokrasi sebesar Rp 45 triliun lebih.
Jumlah di atas belum termasuk biaya kampanye setiap calon yang jumlahnya tidak kalah besar. Sebagai gambaran, biaya kampanye calon presiden 2014 ditaksir mencapai Rp7 triliun (Rakyat Merdeka, 2013), sementara ongkos kampanye caleg DPR RI mencapai Rp10 miliar (Aco, 2013). Biaya kampanye calon gubernur Jawa Barat ditaksir mencapai Rp175 miliar (Amri, 2012), sedangkan calon gubernur Jawa Timur Rp750 Miliar (Radar Jatim, 2013). Adapun kebutuhan dana kampanye calon bupati Pacitan, Jawa Timur, diprediksi sebesar Rp7 miliar (Kawiyan, 2010). Jika setiap perhelatan pemilihan terdapat minimal dua calon, maka jumlah dana kempanye tersebut bisa jadi lebih besar dari anggaran penyelenggaraan pemilu itu sendiri. Berarti dalam jangka waktu lima tahun dana pemilu dan kampanye mencapai sekitar Rp100 triliun.
Dana besar itu mungkin tidak menjadi masalah jika pemilu diselenggarakan dengan jujur dan bebas dari kecurangan sehingga bisa menghasilkan pemimpin yang benar-benar berkualitas. Kenyataan berkata lain, Tidak semua pelaksanaan pemilu terbebas dari kecurangan (ICW, 2014). Kecurangan-kecurangan pemilu selalu didominasi politik uang (Solicha, 2014). Misalnya pada Pileg 2014, kecurangan terkait politik uang mendominasi (Indikator, 2014). Jumlahnya pada Pileg 2014 meningkat dua kali lipat dibandingkan sebelumnya (ICW, 2014).
Praktik politik uang sangat berbahaya bagi alam demokrasi di Indonesia (Dariyanto, 2014). Dengan demikian, praktik politik uang harus menjadi perhatian semua elemen bangsa. Maka tidak berlebihan jika politik uang dikatakan sebagai tema penting yang harus terus dikaji dan diteliti agar bisa ditemukan solusi.
Pada 9 April 2014, kita telah melaksanakan pemilihan anggota legislatif sebagai wujud implementasi sistem demokrasi kita. Namun sayang, pileg tersebut masih diwarnai banyak kecurangan. Pemantauan ICW (2014) di 15 provinsi menggambarkan masih maraknya pelanggaran berupa politik uang dalam Pemilu Legislatif 2014. Jumlahnya naik dua kali lipat dibandingkan Pemilu Legislatif 2009. Pemantauan yang dilakukan sejak 16 Maret 2014 terhitung sejak kampanye terbuka hingga hari-H pencoblosan 9 April 2014 itu menemukan 313 kasus kecurangan. Pemberian uang menempati posisi pertama dengan 104 kasus. Menyusul kemudian pemberian barang sebanyak 128 kasus, pemberian jasa 27 kasus, dan penggunaan sumber daya negara sebanyak 54 kasus.
Kecurangan pada Pemilu Legislatif 2014 terjadi secara massif. Pelakunya adalah kontestan; petugas pemilu, seperti PPS dan PPK; dan pemilih (Mahfud, 2014). Caleg yang memasarkan ideologi tidak laku. Politik sebagai the art of the possible diberlakukan seperti komoditas, sarat dengan transaksi jual beli (Thohari, 2014).
Maraknya politik uang juga terjadi pada Pileg 2014 di Bojonegoro. Survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada bulan September 2013 menyebutkan bahwa tingkat pragmatisme dan politik uang di kabupaten Bojonegoro adalah tertinggi di Provinsi Jawa Timur. Hasil survei tersebut dikuatkan oleh fakta bahwa sebagian besar warga Kabupaten Bojonegoro memilih tetap bekerja ketimbang datang ke TPS. Mereka mau datang jika diberikan uang pengganti upah kerja. Sebagian besar warga yang umumnya buruh pabrik itu berharap para Caleg memberikan uang sebagai pengganti uang kerja.
Sementara itu, pemuda sebagai generasi penerus bangsa, memiliki peran besar dalam mengawal jalannya pesta demokrasi. Dalam setiap perubahan yang mewarnai negeri ini, pemuda selalu mempunyai andil. Kiprah pemuda setidaknya dimulai pada tahun 1908 dengan berdirinya Budi Utomo, tahun 1928 melalui Sumpah Pemuda, tahun 1945 melalui proklamasi kemerdekaan, hingga pada tahun 1998 lewat gerakan mahasiswa yang akhirnya mempersembahkan perubahan negeri ini lewat gerakan reformasi.
Namun dalam kenyataanya, pemuda justru banyak yang terlibat sebagai aktor politik uang. Hal ini tentu menjadi permasalahan tersendiri bagi bangsa Indonesia. Generasi yang seharusnya berada pada garda terdepan dalam penanggulangan politik uang malah terjerumus dalam kubangan politik uang yang menganga.
Survei yang dilakukan Indokator menggambarkan bahwa pemuda masih toleran terhadap praktik politik uang. Sebanyak 42 dari 100 responden pemuda berumur di bawah 20 tahun masih menganggap politik uang sebagai sesuatu yang wajar. Kemudian 42 dari 100 responden pemuda berumur 21-25 tahun juga masih memberi toleransi pada praktik politik uang. Kemudian 43 dari 100 responden berumur 26-40 tahun juga bersikap sama. Dalam kesimpulannya, Indikator (2013) menuliskan bahwa pemilih yang terlibat dalam organisasi serta berusia lebih muda lebih berpeluang dijadikan objek praktik politik uang dibanding yang tidak terlibat dalam organisasi dan berusia lebih tua (Indikator, 2013). Untuk lebih jelasnya berikut tabelnya :
Tabel 1.1 : Toleransi Terhadap Politik Uang Menurut Demografi
Teloransi Terhadap Politik Uang Menurut Demografi
Survey di 39 Dapil, Sep-okt 2013
Base
Bisa diterima sebagai hal yang wajar
Tidak bisa diterima, Tidak wajar
Tidak tahu
GENDER
Laki-laki
50.0