Lihat ke Halaman Asli

Reformasi Mati Suri?

Diperbarui: 17 Juni 2015   06:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saban tahun, saya teringat selalu peristiwa heroik yang sangat menentukan bagi sejarah perjalanan bangsa. Peristiwa itu terkait dengan lengsernya Presiden Seoharto yang telah berkuasa 32 tahun di negeri ini. Peristiwa itu terjadi persis pada Kamis, 21 Mei seperti sekarang ini. Sebuah Peristiwa yang menjadi awal sejarah reformasi di Indonesia.

Reformasi ini sebuah jalan baru bangsa dalam mengelola kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Ada 6 agenda reformasi 1998 yang digulirkan oleh mahasiswa. Antara lain: Pertama, tegakkan supremasi hukum; kedua, berantas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN); ketiga, adili Soeharto dan kroni-kroninya; keempat, amandemen UUD 1945; kelima, cabut dwifungsi ABRI; dan keenam, beri otonomi daerah seluas-luasnnya. Dari 6 agenda reformasi di atas, yang benar-benar selesai dan tuntas, adalah amandemen UUD 1945, dan pencabutan dwifungsi ABRI. Selebihnya masih dalam proses menjadi. Ironinya, proses pelaksanaan agenda tak selalu berjalan mulus, disana-sini, banyak episode sejarah yang justru paradoksal dengan spirit awal reformasi. Pertama, supremasi hukum belum benar-benar tegak dengan berwibawa di Indonesia. Banyak masyarakat yang merasakan proses penegakan hukum di Indonesia "tebang pilih", "tumpul ke atas tajam ke bawah", dan praktek penegakan hukum yang menciderai rasa keadilan masyarakat.  Beberapa tahun belakangan ini, publik dihebohkan oleh kasus hukum yang menjerat kaum alit di bumi Indonesia. Kasus Asyani di Situbondo, Ngatmanu di Lumajang, dan kasus semisal yang lain, adalah bukti hukum yang tak berkeadilan dan berprikemanusiaan. Padahal, jujur harus diakui, hukum bukan untuk hukum (law to law), melainkan hukum untuk keadilan (law to justice, juga hukum untuk kemanusiaan (law to humanity). Kedua, proses pemberantasan korupsi sekarang berada di persimpangan jalan. Benturan lembaga penegak hukum, antara KPK dan Polri, yang berulang-ulang, telah menyurutkan semangat pemberantasan korupsi di Indonesia.  Tak sedikit, yang mulai menyangsikan kemurnian dan kesungguhan dari niat, semangat dan pelaksanaan pemberantasan korupsi. Publik disuguhi fakta, intervensi kekuasaan, kriminalisasi korupsi, dan kompromi politik dalam proses penanganan kasus korupsi, terutama yang melibatkan inner circle kekuasaan yang terdalam, dan aparat penegak hukum sendiri.  Sementara, selebrasi penanganan kasus korupsi yang telah menjerat pimpinan partai, para menteri, anggota dewan, para pejabat dan pengusaha, juga tak kunjung menimbulkan efek jera endemis, sehingga dapat mengurungkan niat, mematahkan semangat, dan jadi arang lintang prilaku koruptif dari para penguasa dan pengusaha.  Tampaknya, good governance (pemerintah yang baik), dan clean goverment (pemerintah yang bersih), jauh api dari panggang. Dengan demikian, revolusi bersih masih mutlak dibutuhkan untuk mewujudkan Indonesia bersih yang didamba-dambakan oleh semua orang. Ketiga, pengadilan Soeharto dan kroni-kroninya, adalah agenda reformasi yang paling berjalan di tempat. Kendati, Soeharto pernah menjalani pemeriksaan, namun sampai diujung hayatnya, kasusnya tak ada kemajuan yang berarti. Kasus yang matisuri.  Ada kekuatan besar yang selalu melindungi dan menjaga Soeharto, sehingga hukum tak dapat menyentuh sedikit pun, kecuali sekadar "festival rakyat" untuk menyenangkan hati rakyat yang terluka akibat kekejaman dan kebiadaban Orde Baru.  Setelah Soeharto mangkat 2008, tak ada suara desakan untuk adili Soeharta dan kroni-kroninya lagi. Seakan bangsa ini sudah memaafkannya sebagai manifestasi falsafah mikul dhuwur mendem jero. Jasanya selalu diingat-ingat, dan salahnya dikubur dalam-dalam. Keempat, perubahan UU Pemerintah Daerah 3 kali pasca reformasi, tak mencerminkan otonomi daerah seluas-luasnya. Pemerintah pusat tetap "setengah hati" dalam memberikan kewenangan bagi pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten/kota dalam mengelola daerah.  Dari segi yuridis tetap diatur oleh pemerintah pusat melalui Kementerian Dalam Negeri, dan dari segi budget juga tetap dibatasi oleh pemerintah pusat pula. Daerah belum pernah menikmati otonomi luas, yang ada adalah otonomi terbatas.  Inovasi dan kreasi daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan, melaksanakan pembangunan, pemberdayaan masyarakat, dan pelayanan publik lainnya, tak mendapatkan tempat yang kondusif dari segi politis dan yuridis. Akibatnya, banyak daerah yang dinilai "gagal" mandiri, kuat, sejahtera dan demokratis. Sebab, platform otonomi daerah yang setengah hati tersebut. Ala kulli hal, dari 6 agenda reformasi, secara kuantitatif maupun kualitatif, selama 17 tahun reformasi ini, masih belum berjalan efektif dan maksimal. Kondisi politik, ekonomi dan sosial tak beranjak membaik. Indonesia tetap merupakan negara yang rentan krisis. Gejolak, kegaduhan, ketidakpastian, kesemrawutan melilit bangsa ini, tanpa daya dan kuasa menyelesaikannya.  Capaian demokrasi yang menghantarkan Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, hanya bisa menjamin sirkulasi elite kekuasaan di pemerintahan maupun dewan. Demokrasi belum membuahkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Capaian penegakan hukum belum menghantarkan Indonesia sebagai rechstaat (negara hukum). Politik kekuasaan yang masih menjadi "panglima". Indonesia sebagai machstaat (negera kuasa) kian tak terbantahkan. Capaian pembangunan ekonomi, belum menghantarkan Indonesia sebagai macan Asia. Laporan World Economic Forum, menempatkan posisi Indonesia diperingkat ke-5 dibandingkan 11 negara Asian lainnya. Supremasi historis Sriwijaya dan Mojopahit dalam bidang militer, politik dan ekonomi, butuh keajaiban dan penyelenggara negara yang "setengah dewa". Dan seterusnya. Oleh karena itu, perjalanan reformasi sekarang "setengah mati". Kondisi ini sebagai akibat dari sebab spirit reformasi yang matisuri. Sulit menemukan tokoh yang benar-benar serius benahi bangsa ini, saat ini, kecuali sekadar janji yang sulit terbukti. Na'udzubillahi min dzalik! *Moch Eksan, Presidium Majlis Daerah KAHMI Jember, dan Anggota DPRD Propinsi Jawa Timur.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline