Lihat ke Halaman Asli

Mobit Putro W.

Bergelut dengan bahasa

Membangun "Kurikulum" yang Mencerdaskan Lahir dan Batin Rakyat

Diperbarui: 24 Juni 2015   19:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Perkembangan dunia pendidikan di Indonesia terus diwarnai dinamika yang tak pernah berhenti tertahan oleh bendungan kritik dan badai. Kritik dan badai yang menderanya tidak saja datang dari luar "kawasan" pendidikan, namun juga dari dalam diri baik pemerintah, instansi, guru bahkan dari si pembelajar sendiri.

Setelah berbagai isu besar yang menjadi bahan perbincangan nasional, baik tentang kualitas umum pendidikan, kualitas guru, keterbatasan fasilitas, RSBI, buku, LKS "bermasalah", kini isu besar yang sedang menunggu masukan dari khalayak umum adalah rencana pemerintah yang akan merombak kurikulum KTSP yang saat ini sedang digunakan dengan Kurikulum 2013 yang konon adalah kurikulum "perasan" dari perkembangan kondisi yang ada saat ini.

Kurikulum 2013 kali ini disikapi oleh anggota masyarakat dengan berbeda-beda. Ribuan masukan telah disampaiakan, baik yang murni sebagai masukan hingga masukan keberatan jika mata pelajaran tertentu dihilangkan akan mengajar apa. Kita tentu mengapresiasi segala masukan itu, karena mereka yang memberikan masukan memiliki pertimbangan yang berbeda dan latar belakang yang berbeda pula.

Ada dua pendapat secara umum dalam menyikapi rencana perubahan kurikulum. Pertama, mereka menyatakan bahwa sejatinya pemberlakuan Kurikulum 2013 belum penting. Menurut mereka sebenarnya kurikulum saat ini sudah baik, hanya tinggal mengoptimalkan sisi implementasinya. Masih ada kekurangan dan perlu terus ditingkatkan pengawasaannya dalam implementasi. Kedua, mereka yang menganggap penting untuk segera diberlakukan, karena tuntutan perkembangan jaman, tehnologi, dan pertimbangan karakter anak muda (siswa) yang semakin hari semakin mengkhawatirkan.

Di samping itu, dalam Kurikulum 2013 direncanakan adanya pengurangan jumlah mata pelajaran yang lebih mengerucut pada penekanan pelajaran pendidikan karakter, bahasa dan matematika untuk sekolah dasar (SD), dan dengan pengurangan beberapa mata pelajaran untuk tingkat SMP dan SMU/ SMK. Selain itu, jumlah jam untuk semua jenjang pendidikan akan ditambah hingga masing-masing 4-5 jam tiap bulan. Kurikulum saat ini sering dipandang tidak memihak kepada anak karena beban pelajaran yang terlalu banyak.

Hanya sekedar flesbek ke kurikulum masa lalu, era dimana penulis masih duduk di bangku Sekolah Dasar pada era 80-an, kita hanya belajar beberapa pelajaran misalnya, Matematika, Bahasa Indonesia, PMP, IPA, IPS, Agama, Olah Raga dan Ketrampilan, minus pelajaran-pelajaran yang berbasis tehnologi, karena saat itu perkembangan tehnologi informasi belum seperti saat ini. Beban dari pelajaran-pelajaran tersebut tidak setinggi saat ini, yang terkesan "disengaja" untuk membuat anak bingung. "Siswa makin bingung, pelaku pendidikan semakin senang.", karena di sanalah dapat dimanfaatkan. Maka tidak jarang pula, siswa sekarang yang justru disarankan oleh gurunya untuk mengikuti Bimbel (Bimbingan Belajar). Menyedihkan.

Keindahan yang dulu terasa dan penulis masih rasakan hingga sekarang adalah siswa tidak ada kewajiban untuk membeli buku sendiri, karena memang disediakan oleh pihak sekolah. Siswa dipinjami buku ketika awal tahun pelajaran, dan harus dikembalikan pada akhir tahun pelajaran. Satu buku cukup untuk setahun, tidak perlu meminjam atau bahkan membeli tiap cawu atau semester. Dengan kesederhanaan kurikulum pada era itu, toh outputnya adalah para pemimpin negara saat ini, yang dari sisi afektif sebenarnya juga bagus.

Masalah yang krusial yang harus dipertimbangkan dalam pemberlakuan kurikulum tersebut adalah bagaimana membuat para siswa kita itu berkembang sesuai dengan kondisi jiwa, raga, mental, usia, pikiran dan minatnya. Mereka mungkin tidak berpikir harus berapa jam menghabiskan di sekolah, atau seberapa tinggi materi yang harus dikuasai, atau berapa jumlah mata pelajaran yang dipelajarinya. Namun, lebih dari yang sedang diperdebatkan saat ini, mereka perlu budaya yang sehat, suri tauladan yang yang dapat diandalkan, pejabat atau pimpinan yang dekat dengan rakyat, dapat dipercaya, sinergi antara ucapan lisan dan tindakannya. Bagaimana menurut Anda?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline