Para akademisi (baca praktisi bahasa asing) selama ini terus menyanksikan arah yang akan dituju oleh para penentu kebijakan pendidikan, utamanya yang terkait dengan pendidikan bahasa asing (Inggris) di sekolah. Kebingungan itu didasarkan pada beberapa hal misalnya tujuan yang akan dicapai dari proses belajar mengajar, beban materi yang banyak, implementasi pengajaran di dalam kelas yang belum optimal, serta sistem evaluasi yang belum mengukur "ruh" dari bahasa sebagai alat komunikasi.
Sinyalemen ketidakjelasan arah ini terus berkembang dan hingga saat ini belum mendapatkan formulasi yang mujarab. Proses pembelajaran yang saat ini terus berlangsung baik di tingkat dasar atau menengah nampaknya terus terbelenggu oleh kebijakan pemerintah yang lebih berbau kepentingan sesaat (nilai dan proyek) daripada kepada kompetensi jangka panjang. Alhasil, hingga saat ini belum ada kesamaan suara antara tujuan yang akan dicapai oleh pemerintah, materi yang disiapkan, guru sebagai pengampu, sekolah sebagai wahana pembelajaran, siswa sebagai objek pendidikan dan sistem evaluasi yang digunakan sebagai alat ukur kompetensi.
Pengalaman beberapa pengajar/ mengampu mata kuliah "speaking" untuk mahasiswa semester satu menunjukkan beberapa hal yang memprihatinkan sebagai rentetan tak terpisahkan dengan pembelajaran di level sekolah sebelumnya, baik di tingkat lanjutan pertama atau lanjutan atas. Kondisi memprihatinkan itu di antaranya adalah mereka belum mampu memperkenalkan diri dengan baik dengan menggunakan ekspresi yang baik dan benar saat diadakan sesi perkenalan. Selain itu penguasaan kosa kata umum yang selama ini kita jumpai di buku-buku ajar SMP atau SMA masih jauh dari tingkat yang seharusnya mereka capai.
Penempatan "perkenalan" dalam pertemuan-pertemuan awal sebenarnya diniatkan untuk menggali capaian/ kompetensi dasar mereka. Kosa kata dan ekspresi standar yang digunakan dalam sesi perkenalan itu tidak jauh dari berbicara tentang diri sendiri, keluarga dan kesukaan mereka. Dengan tingkatan yang sederhana ini paling tidak mereka bisa bercerita agak banyak tentang diri mereka.
Hal seperti tersebut di atas, mungkin saja dialami oleh kebanyakan pengajar yang memegang mahasiswa semester awal. Tradisi-tradisi belajar setengah-setengah yang mereka rasakan semasa belajar di tingkat SMP atau SMA baru mereka rasakan ketika mereka meninggalkannya dan beralih pada jenjang yang lebih tinggi dan serius.
Sebenarnya terdapat beberapa kemungkinan yang dapat menyebabkan kondisi itu demikian. Input pendidikan (siswa) dan proses akan saling berangkai dalam mencetak mutu dan kualitas output. Bila kedua hal dasar itu terpenuhi, kualitas output hanya mengikutinya. Pun sebaliknya bila keduanya terabaikan akan terjadi penciptaan lulusan yang minim kualitas.
Masalah yang dialami oleh para lulusan SMA tersebut diatas, sejatinya hanya akibat dari salah arah implementasi pendidikan bahasa Inggris di sekolah. Sekolah dan guru hanyalah pelaksana lapangan yang tidak memiliki kapasitas untuk merubah semua itu, karena mereka juga akan terbebani oleh sistem evaluasi yang diberlakukan. Guru dalam hal ini juga tidak akan berkreasi untuk mengembangkan materi hingga menyasar kepada optimalisasi kompetensi siswa. Beban-beban ujian yang kurang mengakomodir ketrampilan-ketrampilan bahasa terus menghinggapi mereka, sehingga guru-guru itu ibarat panah tanpa busurnya, tajam namun tidak mampu bergerak.
Para siswa yang saat ini sedang belajar dan atau telah lulus sejatinya hanyalah korban dari kebingungan pemerintah mendesain kurikulum bahasa Inggris yang tidak berpihak kepada ketrampilan siswa. Bagaimana tidak, siswa yang semenjak awal harusnya sudah dibekali oleh ketrampilan-ketrampilan berbahasa, hanya dijejali dengan ilmu-ilmu bahasa yang kurang bermanfaat bagi mereka saat ini.
Kurikulum yang saat ini digunakan belum mampu membekali siswanya untuk membangun kompetensi berkomunikasi dengan bahasa target. Keterbatasan atau ketidakjelasan arah kurikulum itu, belum lagi implementasi di lapangan juga masih diwarnai oleh kendala-kendala fasilitas maupun kualitas pengajar yang belum mampu membangun atmosfer penggunaan bahasa dalam konteks komunikasi.
Menurut penulis ada beberapa hal yang perlu dilakukan oleh pemerintah, dalam hal ini Kemendikbud untuk memperbaiki kondisi tersebut. Diantaranya adalah beban kurikulum harus dikurangi, tidak perlu terlalu banyak. Inti dari pembelajaran bahasa sejatinya adalah bagaimana siswa memiliki kompetensi berkomunikasi dengan bahasa tersebut. Bila beban (konten) sangat banyak mereka tidak akan memiliki kesempatan untuk eksplorasi/ mengekspos lebih banyak.
Materi-materi yang diusung sebaiknya lebih menyasar pada kosa kata dan ekspresi-ekspresi seusia mereka. Kontennya juga hal-hal yang sehari-hari mereka lihat dan mereka perlukan. Kajian-kajian kesusastraan yang selama ini lebih dominan sebaiknya dikurangi, dan lebih difokuskan kepada kreasi-kreasi berbahasa.